Rabu, 24 Desember 2008

IJTIHAD


  1. Apa dan Bagaimana Ijtihad itu?

  • Pengertian Ijtihad

Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:

..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)

artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)

Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.

Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan kata-kata:

Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’”

artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”

Demikian dengan kata Ijtihad yang berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.

Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.

Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”

Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.

Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.

2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,

3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).

Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.

Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.

  • Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

  • Fungsi Ijtihad

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

  • Jenis-jenis Ijtihad

  1. Ijma’

Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.

Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

  1. Qiyas

Beberapa definisi qiyâs' (analogi)

    1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.

    2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.

    3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).


  1. Istihsan

Beberapa definisi Istihsân

  1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.

  2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya

  3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.

  4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.

  5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya...

  1. Mushalat murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

  1. Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.

  1. Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

  1. Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.


  1. Bagaimanakah Muhammadiyah dalam Ijtihad ?

Dari semula, paham keagamaaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi ajaran ke sumber al-Qur’an dan Sunnah yang shahih dengan dimensi ‘Ijtihad’ dan ‘Tauhid’ dalam satu kesatuan yang utuh. Ibarat sebuah mata uang logam, paham keagamaan tersebut memiliki dua permukaan, yakni dua sisi permukaan yang dapat dibedakan antara keduanya, tetapi tidak dapat dipisahkan. Begitu pula hubungan antara adagium ‘kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah’ pada satu sisi dengan adagium lain yakni ‘ijtihad’dan ‘tajdid’. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Jika keduanya sampai terpisah atau sengaja dipisahkan maka paham keagaman tersebut tidak layak lagi digunakan sebagai predikat paham keagamaan Muhammadiyah. Menurut Amin Abdullah, dalam studi agama-agama, pemahaman dan pendekatan yang bersifat utuh komprehenshif tersebut disebut pendekatan yang bersifat scientific cum doctrinaire.

Tetapi sekali lagi, selama ini Muhammadiyah telah terjebak dalam kubangan puritanisme yang akut, sehingga adagium ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah hanya semata-mata terkait dengan persoalan ibadah mahdlah, untuk tidak mengatakan hanya terfokus pada persoalan-persoalan fiqih. Tidak mencoba untuk dikembangkan dalam arti yang lebih luas dan fundamental yakni back to the principle of Qur’anic ethical values. Dan ‘ijtihad’ di Muhammadiyah hanya terkait dengan isu-isu hukum agama atau hukum-hukum fiqih an sich dan tidak melebar pada al-ulum al-kauniyyah dan al-hayat al-insaniyyah.

Kecenderungan konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang cenderung memperluas demografi dan keanggotaan. Aktivisme tersebut mengakibatkan para aktivis Muhammadiyah terlalu bersifat politis-idiologis dan apologis ketimbang berfikir secara reflektif-kontemplatif dan folosofis. Kedua, peran Majlis Tarjih sebagai thik-thank Muhammadiyah terlalu bersifat fiqh-oriented dan tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks perkembangan jaman dan perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran keislaman yang asumtif-probabilistik-pluralis. Ketiga, di tingkat aplikasi praktis, muncul truth claim dari pensakralan produk-produk Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terhadap masalah-masalah muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir empirik di kalangan para anggota Majlis Tarjih.

Dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah, terdapat istilah manhaj tarjih untuk menyebut metode istinbath hukum. Secara leksikal, manhaj berarti “jalan” atau “metode.” Dalam ilmu usul fiqih, manhaj digunakan sebagai cara mengeluarkan hukum syara’ dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, secara istidlal dengan dalil ‘aql, seperti qiyas, istihsan, istishab, dan sebagainya (Abu Zahrah, Usul Fiqh, h. 115). Majelis Tarjih menggunakan kata manhaj sebagai acuan penggalian hukum Islam, baik dari dalil naql maupun ‘aqli. Muhammadiyah merumuskan pedoman dalam berijtihad dengan memakai nama “Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah”.

Manhaj ijtihad tersebut merupakan manifestasi bahwa Muhammadiyah tidak bermadzhab. Dalam hal ini, dibuktikan dari putusan-putusannya tidak merujuk kepada pendapat imam madzhab. Sebab, masalah-masalah yang diputuskan Majelis Tarjih didasarkan atas nash yang dianggap lebih kuat tanpa mengembalikan apakah pendapatnya sesuai dengan pendapat imam madzhab atau tidak.

Sungguhpun manhaj tarjih belum dapat dikatakan sebagai susunan ushul fiqih baru, namun telah memuat unsur-unsur penting dalam teori berijtihad, yaitu penggunaan sumber-sumber hukum, prinsip-prinsip ijtihad, dan kedudukan akal dalam penggalian hukum. Ternyata, manhaj yang demikian telah membawa Majelis Tarjih memutuskan berbagai masalah yang tampak mandiri dan tidak terikat oleh salah satu pandangan madzhab.

Mengenai penggunaan sumber dalil, pada dasarnya ijtihad Majelis Tarjih secara mutlak adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, kedua dalil tersebut merupakan acuan utama dalam penetapan hukum. Hal ini terbaca pada hampir setiap keputusan tarjih yang senantiasa menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dalil sebagaimana yang terbaca di dalam Himpunan Putusan Tarjih. Yang demikian memperlihatkan visi Muhammadiyah yang selama ini dikenal sebagai gerakan pemurnian dengan semboyan “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.”


Himpunan Putusan Tarjih yang merupakan hasil ijtihad Muhammadiyah dapat diringkas isinya sebagai berikut:

    1. Putusan tentang masalah akidah termuat dalam kitab iman dan masalah mempercayai kenabian setelah Nabi Muhammad saw.

    2. Putusan tentang masalah fiqih, termuat dalam kitab; Thaharah, Kitab Salat, Kitab Zakat, Kitab Siyam, Kitab Haji, Kitab Janazah, Kitab Waqaf, Kitab Masalah Lima yaitu: Pengertian Agama, Dunia, Ibadah, Sabilillah, dan Pengertian Qiyas.

    3. Masalah yang berkaitan dengan bidang akhlak, tasawuf, dan lain-lain kurang banyak dijelaskan. Kecuali masalah ziarah kubur yang memuat adab ziarah, kesunahan membuka alas kaki di atas kuburan, serta peringatannya kepada wanita agar tidak terlalu banyak berziarah kubur.

Dari beberapa isi yang dikemukakan di atas, di dalam penjelasannya tidak disebutkan qaidah usuliyah-nya untuk memutuskan suatu masalah. Atau, tidak dijelaskan jalan istinbath (cara penetapan hukum). Ketidakjelasan kedudukan suatu ayat atau Hadits dalam kaitannya dengan suatu keputusan akan memusykilkan status hukum yang dihasilkan. Apakah ayat ini merupakan tuntunan tetap ataukah tidak tetap, apakah ayat itu menunjukkan umum atau khusus dan seterusnya, sehingga menghasilkan hukum wajib, sunnah, atau mubah, dan sebagainya.

Meskipun secara teoritik Majelis Tarjih tidak mengkualifikasikan status hukum masing-masing keputusan, namun ada hal lain yang lebih esensial yang telah dicapai dalam putusan Majelis, yaitu unsur ittiba’ kepada Nabi saw, satu hal yang menjadi ruh atau jiwa bagi segala praktek ibadah.

Putusan tersebut di atas menggambarkan hasil dari putusan pada dekade awal berdirinya Majelis ini. Pada perkembangan selanjutnya, terutama hasil muktamar Tarjih XXII di Malang, hasil keputusan telah memuat beberapa kaidah ushul fiqih sebagai dasar istinbath.

Inilah konteks zaman yang senantiasa berubah, dan Muhammadiyah mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Praktek ijtihad yang dilakukan oleh Majelis Tarjih selama ini dengan melalui tiga cara:

    1. Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafadz yang dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak, ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan konteksnya mempunyai arti mutasyabih ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arud). Dalam hal terakhir digunakan ijtihad tar­jih.

    2. Ijtihad Qiyasi, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nash-nya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash karena adanya kesamaan illat.

    3. Ijtihad Istislahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nash sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan illat untuk kemaslahatan. (Manhaj Tarjih: 17).

Jadi, Muhammadiyah dalam berijtihad menggunakan istinbat hukum seperti yang tertuang di dalam Manhaj Tarjih. Dengan demikian, metode ijtihad Muhammadiyah adalah menggunakan Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Meskipun manhaj tarjih itu merupakan rumusan dari beberapa pendapat ulama ushul dan ini belum dikatakan Muhammadiyah telah menemukan rumusan ushul fiqih baru, akan tetapi manhaj telah berhasil digunakan oleh Majelis Tarjih dalam menetapkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi.


  1. Ijtihad berarti pembaharuan, Bagaimana Ijtihad Muhammadiyah dalam konteks pembaharuan ini ?

Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaruan Islam. Bagaimana hubungan Muhammadiyah dengan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam? Masalah ini perlu dikaji untuk mengetahui benang merah sejarah pembaruan Islam, sekaligus keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berwatak tajdid di Indonesia.

Sebagai gerakan tajdid (pembaruan), Muhammadiyah mengembangkan semangat ijtihad, serta menjauhi sikap taklid. Istilah tajdid pada dasarnya bermakna pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan sebagainya. Tajdid mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah adalah dalam usaha memperbarui pemahaman umat Islam tentang agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar al-Qur’an dan al-Sunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996).

Mengingat kemassifan penetrasi budaya global yang multifaset dan rendahnya kualitas umat, pencerahan hati, pikiran, dan tindakan dalam ber-Islam sangat penting untuk digelorakan. Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah dituntut untuk selalu mampu membuat semua langkah yang ditempuhnya tetap segar, kreatif, inovatif, dan responsif mengikuti perkembangan zaman. Muhammadiyah diharapkan dapat selalu berdiri di hadapan sejarah, dalam arti selalu berada di tengah-tengah perkembangan masyarakat. Dengan cara demikian, Muhammadiyah mampu melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam secara dinamis dan kontekstual.

Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak akan pernah ketinggalan zaman, jika umat Islam selalu berusaha menangkap dan meresponi pesan-pesan kedua sumber Islam itu, kemudian mengontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat secara antisipatif. Oleh karena itu, Muhammadiyah harus terus-menerus melakukan pembaruan. Harus selalu ada reorientasi, reevaluasi, revisi dan regenerasi terhadap apa yang sudah dan sedang dikerjakan. Muhammadiyah tidak boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian dan prestasinya selama ini, terutama di bidang pendidikan dan amal sosial, karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi dan dekadensi (M. Amien Rais, 1995).

Ketika bicara tentang tajdid masa kini, Amien Rais mengajukan lima paket tajdîd atau pembaruan yang saling berkaitan dan harus senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd tersebut adalah: tanzhîf al-aqîdah (purifikasi akidah), tajdîd al-nizhâm (pembaruan sistem, organisasi), taktsîr al-kawâdir (kaderisasi, memperbanyak kader), tajdîd etos Muhammadiyah, dan tajdîd kepemimpinan. Mengingat fenomena jahiliyah modern yang terus bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan yang bernuansa klenik dan tahayul, dekadensi moral, pornografi dan pornoaksi, premanisme, terorisme, trafficking (perdagangan manusia), dan sebagainya. Kelima spektrum tajdîd di atas sangat relevan dengan tuntutan masa kini. Semua persoalan tersebut hanya dapat dihadapi dan diatasi dengan menggelorakan kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen dan organisasi Muhammadiyah dengan melakukan kaderisasi dan intelektualisasi dalam skala yang lebih besar dan merata ke seluruh penjuru tanah air.

Wilayah ijtihad dan tajdid Muhammadiyah sejak awal sebenarnya selalu terfokus pada persoalan historisitas kemanusiaan yang sekaligus juga menyentuh persoalan kebangsaan dan keumatan. Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan dan pelayanan kesehatan merupakan persoalan keumatan yang kongkret dan otentik. Sikap dan aksi nyata seperti itulah yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah pada awal berdirinya dan terus berlangsung hingga kini. Karena etos amal kemanusiaan dan keagamaan ini perlu mendapat ruang dan respon yang lebih luas dari warga Muhammadiyah dan lainnya.

Sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam khususnya di Indonesia, baik yang bercorak purifikatif (pemurnian akidah-ibadah) maupun rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah telah menyumbangkan sesuatu yang paling mendasar, yakni sikap kritisnya terhadap status quo pemikiran keislaman saat kelahirannya maupun dalam perjalanan kehidupan bangsa. Selain itu, keunikan corak pembaruan yang dibawa Muhammadiyah adalah terletak pada sisi amaliahnya yang menekankan kesalehan sosial, seperti pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, masjid serta sarana dakwah lainnya.


IJTIHAD

  1. Apa dan Bagaimana Ijtihad itu?

  • Pengertian Ijtihad

Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:

..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)

artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)

Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.

Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan kata-kata:

Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’”

artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”

Demikian dengan kata Ijtihad yang berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.

Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.

Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”

Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.

Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.

2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,

3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).

Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.

Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.

  • Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

  • Fungsi Ijtihad

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

  • Jenis-jenis Ijtihad

  1. Ijma’

Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.

Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

  1. Qiyas

Beberapa definisi qiyâs' (analogi)

    1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.

    2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.

    3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

  1. Istihsan

Beberapa definisi Istihsân

  1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.

  2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya

  3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.

  4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.

  5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya...

  1. Mushalat murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

  1. Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.

  1. Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

  1. Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

  1. Bagaimanakah Muhammadiyah dalam Ijtihad ?

Dari semula, paham keagamaaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi ajaran ke sumber al-Qur’an dan Sunnah yang shahih dengan dimensi ‘Ijtihad’ dan ‘Tauhid’ dalam satu kesatuan yang utuh. Ibarat sebuah mata uang logam, paham keagamaan tersebut memiliki dua permukaan, yakni dua sisi permukaan yang dapat dibedakan antara keduanya, tetapi tidak dapat dipisahkan. Begitu pula hubungan antara adagium ‘kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah’ pada satu sisi dengan adagium lain yakni ‘ijtihad’dan ‘tajdid’. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Jika keduanya sampai terpisah atau sengaja dipisahkan maka paham keagaman tersebut tidak layak lagi digunakan sebagai predikat paham keagamaan Muhammadiyah. Menurut Amin Abdullah, dalam studi agama-agama, pemahaman dan pendekatan yang bersifat utuh komprehenshif tersebut disebut pendekatan yang bersifat scientific cum doctrinaire.

Tetapi sekali lagi, selama ini Muhammadiyah telah terjebak dalam kubangan puritanisme yang akut, sehingga adagium ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah hanya semata-mata terkait dengan persoalan ibadah mahdlah, untuk tidak mengatakan hanya terfokus pada persoalan-persoalan fiqih. Tidak mencoba untuk dikembangkan dalam arti yang lebih luas dan fundamental yakni back to the principle of Qur’anic ethical values. Dan ‘ijtihad’ di Muhammadiyah hanya terkait dengan isu-isu hukum agama atau hukum-hukum fiqih an sich dan tidak melebar pada al-ulum al-kauniyyah dan al-hayat al-insaniyyah.

Kecenderungan konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang cenderung memperluas demografi dan keanggotaan. Aktivisme tersebut mengakibatkan para aktivis Muhammadiyah terlalu bersifat politis-idiologis dan apologis ketimbang berfikir secara reflektif-kontemplatif dan folosofis. Kedua, peran Majlis Tarjih sebagai thik-thank Muhammadiyah terlalu bersifat fiqh-oriented dan tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks perkembangan jaman dan perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran keislaman yang asumtif-probabilistik-pluralis. Ketiga, di tingkat aplikasi praktis, muncul truth claim dari pensakralan produk-produk Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terhadap masalah-masalah muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir empirik di kalangan para anggota Majlis Tarjih.

Dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah, terdapat istilah manhaj tarjih untuk menyebut metode istinbath hukum. Secara leksikal, manhaj berarti “jalan” atau “metode.” Dalam ilmu usul fiqih, manhaj digunakan sebagai cara mengeluarkan hukum syara’ dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, secara istidlal dengan dalil ‘aql, seperti qiyas, istihsan, istishab, dan sebagainya (Abu Zahrah, Usul Fiqh, h. 115). Majelis Tarjih menggunakan kata manhaj sebagai acuan penggalian hukum Islam, baik dari dalil naql maupun ‘aqli. Muhammadiyah merumuskan pedoman dalam berijtihad dengan memakai nama “Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah”.

Manhaj ijtihad tersebut merupakan manifestasi bahwa Muhammadiyah tidak bermadzhab. Dalam hal ini, dibuktikan dari putusan-putusannya tidak merujuk kepada pendapat imam madzhab. Sebab, masalah-masalah yang diputuskan Majelis Tarjih didasarkan atas nash yang dianggap lebih kuat tanpa mengembalikan apakah pendapatnya sesuai dengan pendapat imam madzhab atau tidak.

Sungguhpun manhaj tarjih belum dapat dikatakan sebagai susunan ushul fiqih baru, namun telah memuat unsur-unsur penting dalam teori berijtihad, yaitu penggunaan sumber-sumber hukum, prinsip-prinsip ijtihad, dan kedudukan akal dalam penggalian hukum. Ternyata, manhaj yang demikian telah membawa Majelis Tarjih memutuskan berbagai masalah yang tampak mandiri dan tidak terikat oleh salah satu pandangan madzhab.

Mengenai penggunaan sumber dalil, pada dasarnya ijtihad Majelis Tarjih secara mutlak adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, kedua dalil tersebut merupakan acuan utama dalam penetapan hukum. Hal ini terbaca pada hampir setiap keputusan tarjih yang senantiasa menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dalil sebagaimana yang terbaca di dalam Himpunan Putusan Tarjih. Yang demikian memperlihatkan visi Muhammadiyah yang selama ini dikenal sebagai gerakan pemurnian dengan semboyan “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.”

Himpunan Putusan Tarjih yang merupakan hasil ijtihad Muhammadiyah dapat diringkas isinya sebagai berikut:

    1. Putusan tentang masalah akidah termuat dalam kitab iman dan masalah mempercayai kenabian setelah Nabi Muhammad saw.

    2. Putusan tentang masalah fiqih, termuat dalam kitab; Thaharah, Kitab Salat, Kitab Zakat, Kitab Siyam, Kitab Haji, Kitab Janazah, Kitab Waqaf, Kitab Masalah Lima yaitu: Pengertian Agama, Dunia, Ibadah, Sabilillah, dan Pengertian Qiyas.

    3. Masalah yang berkaitan dengan bidang akhlak, tasawuf, dan lain-lain kurang banyak dijelaskan. Kecuali masalah ziarah kubur yang memuat adab ziarah, kesunahan membuka alas kaki di atas kuburan, serta peringatannya kepada wanita agar tidak terlalu banyak berziarah kubur.

Dari beberapa isi yang dikemukakan di atas, di dalam penjelasannya tidak disebutkan qaidah usuliyah-nya untuk memutuskan suatu masalah. Atau, tidak dijelaskan jalan istinbath (cara penetapan hukum). Ketidakjelasan kedudukan suatu ayat atau Hadits dalam kaitannya dengan suatu keputusan akan memusykilkan status hukum yang dihasilkan. Apakah ayat ini merupakan tuntunan tetap ataukah tidak tetap, apakah ayat itu menunjukkan umum atau khusus dan seterusnya, sehingga menghasilkan hukum wajib, sunnah, atau mubah, dan sebagainya.

Meskipun secara teoritik Majelis Tarjih tidak mengkualifikasikan status hukum masing-masing keputusan, namun ada hal lain yang lebih esensial yang telah dicapai dalam putusan Majelis, yaitu unsur ittiba’ kepada Nabi saw, satu hal yang menjadi ruh atau jiwa bagi segala praktek ibadah.

Putusan tersebut di atas menggambarkan hasil dari putusan pada dekade awal berdirinya Majelis ini. Pada perkembangan selanjutnya, terutama hasil muktamar Tarjih XXII di Malang, hasil keputusan telah memuat beberapa kaidah ushul fiqih sebagai dasar istinbath.

Inilah konteks zaman yang senantiasa berubah, dan Muhammadiyah mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Praktek ijtihad yang dilakukan oleh Majelis Tarjih selama ini dengan melalui tiga cara:

    1. Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafadz yang dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak, ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan konteksnya mempunyai arti mutasyabih ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arud). Dalam hal terakhir digunakan ijtihad tar­jih.

    2. Ijtihad Qiyasi, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nash-nya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash karena adanya kesamaan illat.

    3. Ijtihad Istislahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nash sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan illat untuk kemaslahatan. (Manhaj Tarjih: 17).

Jadi, Muhammadiyah dalam berijtihad menggunakan istinbat hukum seperti yang tertuang di dalam Manhaj Tarjih. Dengan demikian, metode ijtihad Muhammadiyah adalah menggunakan Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Meskipun manhaj tarjih itu merupakan rumusan dari beberapa pendapat ulama ushul dan ini belum dikatakan Muhammadiyah telah menemukan rumusan ushul fiqih baru, akan tetapi manhaj telah berhasil digunakan oleh Majelis Tarjih dalam menetapkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

  1. Ijtihad berarti pembaharuan, Bagaimana Ijtihad Muhammadiyah dalam konteks pembaharuan ini ?

Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaruan Islam. Bagaimana hubungan Muhammadiyah dengan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam? Masalah ini perlu dikaji untuk mengetahui benang merah sejarah pembaruan Islam, sekaligus keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berwatak tajdid di Indonesia.

Sebagai gerakan tajdid (pembaruan), Muhammadiyah mengembangkan semangat ijtihad, serta menjauhi sikap taklid. Istilah tajdid pada dasarnya bermakna pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan sebagainya. Tajdid mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah adalah dalam usaha memperbarui pemahaman umat Islam tentang agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar al-Qur’an dan al-Sunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996).

Mengingat kemassifan penetrasi budaya global yang multifaset dan rendahnya kualitas umat, pencerahan hati, pikiran, dan tindakan dalam ber-Islam sangat penting untuk digelorakan. Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah dituntut untuk selalu mampu membuat semua langkah yang ditempuhnya tetap segar, kreatif, inovatif, dan responsif mengikuti perkembangan zaman. Muhammadiyah diharapkan dapat selalu berdiri di hadapan sejarah, dalam arti selalu berada di tengah-tengah perkembangan masyarakat. Dengan cara demikian, Muhammadiyah mampu melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam secara dinamis dan kontekstual.

Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak akan pernah ketinggalan zaman, jika umat Islam selalu berusaha menangkap dan meresponi pesan-pesan kedua sumber Islam itu, kemudian mengontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat secara antisipatif. Oleh karena itu, Muhammadiyah harus terus-menerus melakukan pembaruan. Harus selalu ada reorientasi, reevaluasi, revisi dan regenerasi terhadap apa yang sudah dan sedang dikerjakan. Muhammadiyah tidak boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian dan prestasinya selama ini, terutama di bidang pendidikan dan amal sosial, karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi dan dekadensi (M. Amien Rais, 1995).

Ketika bicara tentang tajdid masa kini, Amien Rais mengajukan lima paket tajdîd atau pembaruan yang saling berkaitan dan harus senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd tersebut adalah: tanzhîf al-aqîdah (purifikasi akidah), tajdîd al-nizhâm (pembaruan sistem, organisasi), taktsîr al-kawâdir (kaderisasi, memperbanyak kader), tajdîd etos Muhammadiyah, dan tajdîd kepemimpinan. Mengingat fenomena jahiliyah modern yang terus bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan yang bernuansa klenik dan tahayul, dekadensi moral, pornografi dan pornoaksi, premanisme, terorisme, trafficking (perdagangan manusia), dan sebagainya. Kelima spektrum tajdîd di atas sangat relevan dengan tuntutan masa kini. Semua persoalan tersebut hanya dapat dihadapi dan diatasi dengan menggelorakan kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen dan organisasi Muhammadiyah dengan melakukan kaderisasi dan intelektualisasi dalam skala yang lebih besar dan merata ke seluruh penjuru tanah air.

Wilayah ijtihad dan tajdid Muhammadiyah sejak awal sebenarnya selalu terfokus pada persoalan historisitas kemanusiaan yang sekaligus juga menyentuh persoalan kebangsaan dan keumatan. Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan dan pelayanan kesehatan merupakan persoalan keumatan yang kongkret dan otentik. Sikap dan aksi nyata seperti itulah yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah pada awal berdirinya dan terus berlangsung hingga kini. Karena etos amal kemanusiaan dan keagamaan ini perlu mendapat ruang dan respon yang lebih luas dari warga Muhammadiyah dan lainnya.

Sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam khususnya di Indonesia, baik yang bercorak purifikatif (pemurnian akidah-ibadah) maupun rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah telah menyumbangkan sesuatu yang paling mendasar, yakni sikap kritisnya terhadap status quo pemikiran keislaman saat kelahirannya maupun dalam perjalanan kehidupan bangsa. Selain itu, keunikan corak pembaruan yang dibawa Muhammadiyah adalah terletak pada sisi amaliahnya yang menekankan kesalehan sosial, seperti pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, masjid serta sarana dakwah lainnya.


Kamis, 18 Desember 2008

Pimpinan Ranting Muhammadiyah
(PRM)


1. Sejarah PRM (Pimpinan Ranting Muhammadiyah) di desa Kledung Kradenan kecamatan Banyuurip, kabupaten Purworejo

Embrio PRM (Pimpinan Ranting Muhammadiyah) desa Kledung Kradenan, Banyuurip, Purworejo sudah ada sejak adanya PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) di Kabupaten Purworejo. Adapun secara resminya PRM desa Kledung Kradenan ini berdiri bersamaan dengan berdirinya PCM (Pimpinan Cabang Muhammadiyah) Banyuurip yaitu pada awal tahun 2002.
Kemudian sampai dengan tahun 2008 di Kecamatan Banyuuurip yang terdiri dari 27 desa, berdiri 5 buah ranting, yang merupakan PRM Kledung Kradenan, Kledung Karang Dalem, Wangunrejo, Banyuurip, dan Boro Kulon. Di daerah tersebut, para simpatisan atau pendukung dakwah Muhammadiyah kebanyakan dari masyarakat pendatang, sedangkan orang-orang pribumi masih sangat sedikit, karena masyarakat pribumi masih mengedepankan tradisi-tradisi lokal atau adat, yang mana tindakan-tindakan tersebut masih sangat kental kaitannya dengan pengaruh Hinduisme (Animisme dan Dinamisme) padahal hal-hal itu menjadi titik krusial yang akan ditegakkan Muhammadiyah, yang erat kaitannya dengan TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churofat). Contoh : di daerah Kledung Kradenan tersebut telah berjalan tradisi “wayangan” setiap bulan rajab yang di masuki dengan niat-niat kemusyrikan. Masyarakat beranggapan jika tradisi tersebut tidak dijalankan, maka akan terjadi malapetaka atau suatu hal yang tidak diharapkan masyarakat seperti halnya musibah dll.

2. Struktur Organisasi PRM di desa Kledung Kradenan
Struktur organisasi yang telah terbentuk di dalam PRM setempat masih sangat sederhana, yakni masih terdiri dari pengurus harian, seperti :
§ Ketua PRM : Bpk. Ahmat Jaenudin
§ Sekretaris : Bpk. Bambang
§ Bendahara : Bpk. Tumirin
Sementara bidang-bidang lazim di Muhammadiyah seperti PKU Muhammadiyah, tabligh itu belum ada, karena selama ini para pengurus masih dalam upaya memperkuat PRM. Selain menjabat sebagai ketua PRM, bapak Jaenudin juga sekaligus menjabat sebagai ketua PCM di daerah Kledung Kradenan sehingga lebih memfokuskan bagaimana cara menggerakkan PCM.

3. Kekuatan dan Kelemahan dakwah Muhammadiyah
Adapun kekuatan dakwah Muhammadiyah di desa Kledung Kradenan antara lain :
a. Ditinjau dari segi personalia
Niat dari para pendakwah yang ikhlas dan semata-mata hanya mencari ridha Allah SWT.
Strata ekonomi para personalia alhamdulillah termasuk golongan menengah ke atas dan juga bermata pencaharian yang mempunyai status sosial seperti misalnya pegawai negeri, guru, pengusaha dan sebagainya. Paling tidak dengan nilai itu mereka dapat menfokuskan tujuan diri untuk dakwah yang benar-benar ikhlas lillahi ta’ala bukan untuk profesi ekonomi.
Personalia para pendakwah Muhammadiyah termasuk orang-orang yang berpendidikan tinggi sehingga korelasional dan emotional mereka lebih matang dalam kaitannya dengan tingkat adaptasi dakwah mereka.
b. Ditinjau dari segi finansial
Dengan personalia yang bergolongan ekonomi menengah ke atas tersebut dapat menjadikan simpatisan mengikhlaskan dirinya dalam berdakwah. Selain itu, mereka juga ikhlas menafkahkan sebagian harta mereka di jalan Allah SWT. Contoh konkretnya yaitu telah dibangun Panti Asuhan dan juga playgroup Aisiyah di daerah Banyuurip dan TK Aisiyah di daerah Wangunrejo. Oleh karena itu, masalah atau kendala finansial dapat atasi bersama-sama meskipun belum begitu optimal.
Adapun kelemahan dakwah Muhammadiyah di PRM daerah setempat adalah lingkungan mereka yang relatif belum kondusif (dengan adanya tokoh-tokoh non Muhammadiyah yang melakukan pergerakan tidak sekedar bersama-sama fastabiqul khoirot, tetapi juga menganggap bahwa Muhammadiyah sebagai saingan. Dengan asumsi bahwa mereka tidak ingin kehilangan pengaruh serta tidak ingin kehilangan peluang ekonomi. Secara singkat golongan non-Muhammadiyah tidak mendukung misi dakwah Muhammadiyah, bahkan mereka menganggap sebagai saingannya.

4. Keberlanjutan dakwah Muhammadiyah di PRM Kledung Kradenan
PRM Kledung Kradenan sedang merintis sub-sub ranting. Adapun dakwah Muhammadiyah yang selama ini telah berjalan, antara lain : diadakannya pengajian setiap malam jumat kliwon dan pengajian setiap minggu pagi di masjid Khusnul Khotimah dan di Mushola pengadilan negeri Purworejo setiap bulan Ramadhan.
Di lain tempat juga sedang dirintis beberapa simpatisan atau anggota Muhammadiyah yang terdiri dari :
§ Lingkungan I : desa Plahan (Ngaglag)
§ Lingkungan II : desa kledung Kradenan
§ Lingkungan III : Belakang pengadilan negeri
§ Lingkungan IV : Juru Tengah
§ Lingkungan V : daerah perbatasan Sucen

Selasa, 21 Oktober 2008

ISLAM SEBAGAI PILIHAN HIDUP

Overview
Banyak orang yang memilih Islam karena merasa lebih rasional dan lebih cocok dengan hati nuraninya, tetapi tidak sedikit pula yang memilih Islam karena terpaksa, tidak ada pilihan lain, "ikut-ikutan" pada pilihan orang tua yang sudah masuk Islam lebih dulu. Walaupun mengikuti tradisi – asal tradisi yang baik – juga baik, namun karena Allah sudah memberikan potensi akal dan nurani kepada manusia, maka akan lebih baik jika potensi tersebut disyukuri dengan cara memaksimalkan penggunaannya sesuai keinginan
Sang Maha Pemberi dan Pengatur, yakni Allah SWT.
Pada bab ini akan dipaparkan mengapa Islam harus dijadikan sebagai pilihan hidup. Namun untuk lebih menyegarkan kembali pemahaman kita tentang Islam, maka akan sedikit dibahas tentang makna Islam.
Secara bahasa, Islam berasal dari kata silmun atau salamun yang berarti selamat (as-salam), damai dan tentram (al-shulhu wa al-aman), berserah diri (al-istislam), tunduk (al-khudlu/al-idzan), patuh (al-tha’ah). Jadi, Islam berarti keselamatan dan kedamaian karena berserah diri hanya kepada Allah SWT. Sedangkan Islam menurut istilah adalah Din atau agama yang bersumber dari Allah dibawa melalui para Rosul-Nya, sejak nabi pertama (Nabi Adam) hingga nabi terakhir (Nabi Muhammad) untuk kemaslahatan manusia di dunia dan diakhirat
Namun karena agama-agama samawi (langit) sudah dirubah oleh manusia sehingga tidak orisinil lagi, maka istilah "Islam" hanya ditujukan kepada apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yakni sesuatu yang diturunkan Allah SWT didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih berupa aturan yang berisi perintah, larangan dan petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia maupun di akhirat kelak (lihat : Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, Kitab Masalah Lima, hlm. 278).
Bagi orang yang beriman dan berakal (berilmu), tentu ada alasan kenapa Allah sampai menegaskan : "Sesungguhkan agama di sisi Allah hanyalah Islam" (Q.S Ali Imran (3) : 19). Diantara alasan kenapa Islam satu-satunya yang dianggap sebagai "din" (agama yang benar) di sisi Allah sehingga pantas dijadikan sebagai pilihan hidup adalah sebagai berikut :
Islam adalah ajaran rabbaniyah (ketuhanan)
Islam adalah ajaran insaniayah (kemanusiaan)

Rabbaniyah
Islam yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulillah SAW dirancang oleh Allah untuk mengatur hidup manusia demi terciptanya kemaslahatan hidup mereka di dunia maupun di akhirat. Tetapi mustahil hal ini dapat dicapai tanpa memperbaiki hubungan dengan Allah SWT karena akhirnya seluruh manusia akan kembali dan menuju kepada-Nya. Allah berfirman : "Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhan-mu, maka pasti kamu akan menemui-Nya" (Q.S Al-Insyiqaq (84) : 6).
Untuk menuju kepada Allah SWT maka manhaj (metode) yang digunakan haruslah manhaj Rabbani (metode ketuhanan) yang murni bersumber dari Allah yang dirisalahkan kepada Rasul-Nya yang terakhir yakni Nabi Muhammad SAW. Murni yang dimaksud di sini adalah ajaran Islam selamat dari penyimpangan dan percampur adukan dengan spekulasi-spekulasi pemikiran manusia, yakni murni sumbernya, murni aqidah-nya (theologi), dan murni syariat-nya (hukum-hukumnya). Allah sendiri menjamin kemurnian sumber ajarannya, seperti yang tertuang dalam firman-Nya : "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Dziki( yakni Al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya" (Q.S Al Hijr (15) : 19).
Hanya Al-Qur’an satu-satunya Kitab Suci dari Allah yang masih terpelihara dari perubahan akbat "ulah jahil" manusia. Kesucian Al-Qur’an dapat terjaga karena memang ada jaminan penjagaan dari Allah. Siapapun - termasuk Nabi sekalipun - tidak mempunyai wewenang dan kemampuan membuat Al-Qur’an. Allah SWT mengancam Nabi jika berani memalsukan Al-Qur’an, seperti dalam firman-Nya :"Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya"(Q.S Al-Haqqah (69) : 43-46).

Insaniyah
Jika kita merenungkan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an, memikirkan tema-temanya dan fokus perhatiannya, maka kita akan berkesinpulan bahwa Al-Qur’an itu memang diturunkan sebagai pedoman hidup untuk manusia. Itulah sebabnya penyebutan manusia di dalam Al-Qur’an disebut berulang kali dengan berbagai istilah seperti : al-Insan sebanyak 63 kali, al-Nas sebanyak 240 kali, Bani Adam sebanyak 6 kali dan basyar sebanyak 25 kali. Dalam ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun saja (Q.S Al-‘Alaq (96) : 1-5) kata al-Insan disebut 2 kali.
Selain itu, sosok nabi yang dikirimkan Allah sebagai teladan dan pemberi kabar untuk umat manusia dari kalangan manusia juga. Perjalanan hidupnya (biografinya) tercatat dalam sejarah umat manusia, yang menunjukan keberadaannya tak terbantahkan oleh sejarah. Dalam banyak kesempatan, Al-Qur’an selalu memperkuat kemanusiaan Nabi Muhammad SAW, seperti firman Allah SWT : "Katakanlah : "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku : "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa …" (Q.S Al Kahfi (18) : 110).
Karena Nabi Muhammad SAW juga manusia biasa, maka pantaslah beliau menjadi teladan bagi semua manusia (Q.S Al Ahzab (33) : 21).
Hal yang lain adalah rangkaian ibadah mahdhah (ibadah yang tata aturannya sudah ditetapkan sedemikian rupa) yang seakan-akan hanya berhubungan langsung dengan Tuhan, ternyata selalu dikaitkan dengan perhatian terhadap aspek kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan. Hal ini bisa kita lihat pada kewajiban shalat yang dikaitkan dengan pencegahan terhadap perbuatan keji dan munkar (lihat Q.S Al-Ankabut (29) : 45), atau kecelakaan bagi orang yang shalat tetapi hanya sekedar formalitas belaka dan enggan memberkan bantuan (lihat Q.S A Ma’un (107) : 4-7). Demikian pula kewajiban menunaikan zakat/shadaqah yang disamping bertujuan untuk penyucian jiwa dan harta juga sekaligus untuk menggembirakan orang lain dengan membebaskan /meringankan penderitaan orang lain dari himpitan kefakiran. Ibadah puasa dan haji pun disamping berdimensi ketuhanan (rabbaniyah) juga sekaligus berdimensi kemanusiaan (insaniyah).
Ini menunjukan bahwa Islam yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan as-Sunnah benar-benar ditujukan untuk manusia sehingga ajarannya pun disesuaikan dengan fitrah (kodrat dasar) dan kemampuan manusia. Karena Allah Maha Pencipta dan Maha Mengetahui detail keadaan ciptaan-Nya, sehingga din al-Islam sebagai syariat/aturan Allah untuk manusia disesuaikan dengan keadan hamba-Nya, seperti dalam firman Allah : "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (Q.S Al Baqarah (2) : 286).
Islam mengakui adanya nafsu sex yang dimiliki manusia tetapi bukan untuk dikekang seperti para romo/pastur dan biksu yang tidak menikah, seperti firman Allah SWT : "….dan mereka mengada-adakan rahbaniyah (tidak menikah)" (Q.S Al Hadid (57) : 27) dan bukan pula untuk diumbar secara bebas seperti kaum hedonis. Tetapi nafsu haruslah dikuasai agar bisa dikendalikan dan disalurkan di tempat yang dibenarkan syar’i (ketentuan islam), dan bukan sebaliknya, nafsulah yang mengendalikan kita.
Sebagai agama fitrah, Islam pun menyadari bahwa sebagian manusia menyenangi pada perhiasan dan membolehkan untuk dimanfaatkan selama proposional dan tidak berlebihan dalam timbangan agama (lihat Q.S Al-A’raf (7) : 31-32).

Hak Asasi Manusia (HAM)
Sebelum dunia mengenal adanya Hak Asasi Manusia, 14 abad yang silam, Islam datang dengan mendeklarasikan bahwa manusia mempunyai hak yang harus dijaga, sebagaimana dia mengemban kewajiban yang harus dilaksanakan (lihat juga inti Piagam Madinah). Diantara hak tersebut antara lain :
Hak hidup manusia
Islam memandang hidup sebagai karunia dari Allah SWT dimana tidak ada seorang pun yang boleh merampasnya. Seorang tuan tidak boleh merampas hak hidup budaknya, pemerintah tidak boleh merampas hak hidup rakyatnya, dan orang tua tidak boleh merampas hak hidup anaknya. Oleh karenanya, Allah melarang membunuh anak wanita karena malu (lihat Q.S At-Takwir (81) : 8-9) dan membunuh anak karena takut miskin (Q.S Al Isra’ (17) : 31)
Dalam hak hidup, Islam tidak membedakan antara orang yang merdeka atau budak, bahkan sampai pada janin yang masih ada dalam kandungan mempunyai hak untuk dihormati, tidak boleh digugurkan, meskipun ia dari hasil hubungan perbuatan yang haram. Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup umat manusia, Islam mensyariatkan hukum qishash bagi orang yang membunuh secara sengaja, tanpa alasan dan prosedur yang benar. Firman Allah : "Dan dalam qishash itu ada jaminan (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai oarang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa" (Q.S Al Baqarah (2) : 179).
Disini Islam lebih memilih mengorbankan seseorang yang memang bersalah (karena membunuh) agar orang banyak bisa merasa lebih aman karena terlindungi hak hidupnya dan agar mereka bisa mengambil pelajaran supaya tidak gampang merasa hak hidup orang lain.
Penghormatan terhadap hak hidup setiap insan lebih dipertegas lagi oleh Allah dengan firman-Nya : "… barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya" Q.S Al-Maidah (5) : 32).
Hak meyakini sebuah agama dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama yang diyakininya
Meskipun Islam diyakini sebagai satu-satunya din yang paling benar dan diridhai oleh Allah SWT, namun dalam menyampaikan Islam tidak boleh dengan pemaksaan, seperti firman Allah SWT : "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…"(Q.S Al-Baqarah (2) : 256). Oleh karenanya, keyakinan pada suatu agama dan pelaksanaan ritual keagamaannya kembali harus berjalan sendiri-sendiri tanpa ada tekanan dari pihak manapun, seperti firman Allah : "Bagimu agamamu, bagiku agamaku" (Q.S Al-Kafirun (109) : 6). Bahkan jika umat Islam mayoritas dan berkuasa di suatu wilayah maka mereka diwajibkan memberikan perlindungan kepada pelaksanaan ibadah agama lain. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT : "…Dan sekiranya Allah tidak mencegah sebagian manusia kepada sebagian lainnya, maka runtuhlah biara-biara, gereja-gereja, sinagong-sinagong dan tempat peribadatan lainnya yang di dalamnya banyak disebutkan nama Allah…" (Q.S Al-Hajj (22) : 40).
Hal inilah yang kemudian mengilhami munculnya Piagam Madinah yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya yang berisi deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM). Inti Piagam Madinah tersebut adalah bahwa masing-masing merdeka mengerjakan agamanya dan tidak boleh saling mengganggu, dan wajib saling menjaga dan membantu keamanan antara mereka.
Hak kemuliaan dan penjagaan kehormatan
Islam mengharamkan menginjak-injak kehormatan manusia sebagaimana mengharamkan darah dan harta bendanya. Kata Nabi SAW :"Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada kalian, darah, kehormatan dan harta kalian" (HR. Bukhari Muslim).
Untuk itu, manusia tidak boleh disakiti baik secara fisik maupun non fisik, misalnya dengan mempermalukan/merendahkan harga dirinya, mengumpat, mencela, memberikan gelar yang jelek, ghibah (menggunjing/gosip) dan semacamnya (Q.S Al-Hujurat (49) : 11-12).
Hak hidup berkecukupan
Di dalam ajaran Islam, jika ada orang yang pendapatannya tidak memadai, maka kerabat-kerabatnyalah yang berkecukupan yang paling berkewajiban membantunya. Allah berfirman : "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah" (Q.S Al-Anfal (7) : 75).
Jika tidak ada kerabat yang berkecukupan, maka harus diambilkan dari zakat kaum muslimin yang lain, sampai tercukupinya kebutuhan hidupnya. Kata sahabat Umar r.a : "Jika Anda memberi, maka cukupkanlah"

Syumul
Islam itu universal (syumul) yang meliputi semua zaman, kehidupan dan eksistensi manusia.
Islam adalah risalah semua zaman. Islam adalah risalah yang dibawa para nabi sejak Nabi Adam a.s sampai nabi terakhir yakni Nabi Muhammad SAW, yang misinya adalah menyerukan kepada tauhidullah (menyembah/mengabdi kepada Allah) dan menjauhi thagut. Allah SWT berfirman : "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu" (Q.S An-Nahl (13) : 36).
Demikian juga firman Allah : "Dan Kami tidak mengutus rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku" (Q.S An-Anbiya (21) :25).
Pernyataan para Nabi bahwa mereka semua muslim bisa dilihat antara lain dalam Q.S Yunus (10) : 72, Q.S Al-Baqarah (2) : 128 dan 132, Q.S Yusuf (12) : 101, Q.S Al-A’raf (7) : 126, Q.S An-Naml (16) : 31, Q.S Ali Imran (3) : 52, dan lain sebagainya.
Islam adalah risalah bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Firman Allah SWT : "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Katakanlah : "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah : "Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, maka tidakkah kamu berserah diri (kepada-Nya)" (Q.S Al-Anbiya (21) : 107-108).
Demikian juga firman Allah SWT : "Katakanlah : "Hai manusia sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah kepadamu semua" (Q.S Al-A’raf (7) : 128).
"Dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan …" (Q.S Saba’ (34) : 28). Bahkan dalam Q.S Al-Furqan (25) : 1 dan Q.S Shad (38) : 87 dikatakan bahwa Al-Qur’an sebagai peringatan bagi seluruh alam semesta.
Islam adalah agama dalam seluruh fase dan sektor kehidupan. Islam mengatur seluruh fase kehidupan manusia dari semenjak sebelum dia belum lahir, masa bayi, kanak-kanak, remaja, tua, bahkan sampai setelah dia meninggal dunia. Tidak ada jenjang kehidupan yang berlalu begitu saja, kecuali Islam mempunyai bimbingan, arahan dan ketentuan di dalamnya. Demikian pula Islam merupakan risalah bagi manusia pada seluruh sektor kehidupan dan segala aktifitas kemanusiaannya, baik yang bersifat material ataupun spiritual, individu ataupun sosial, dan gagasan ataupun operasional. Islam menolak pemisahan kehidupan menjadi dua bagian (dikotomi). Konsep dikotomi ini awalnya berasal dari tokoh-tokoh Nasrani yang menyandarkan statemennya kepada Injil mereka, "Berikanlah apa yang menjadi hak milik kaisar kepada kaisar, dan berikanlah apa yang menjadi hak milik Allah kepada Allah". Penolakan Islam terhadap pemisahan ini didasarkan pada argumentasi bahwa Islam menjadikan seluruh alam semesta beserta isinya adalah mutlak milik Allah SWT. Allah SWT berfirman : "Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi …" (Q.S Yunus (10) : 66). Dan juga : "…padahal kepada-Nya lah berserah diri segala apa yang ada dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan" (Q.S Ali Imran (3) : 83).
Oleh karenanya, Islam tidak memisahkan persoalan politik, negara, ekonomi dengan sisten akhlak Islam.
Oleh karena Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, diturunkan untuk seluruh manusia dalam rentang waktu dan tempat (lihat Q.S Al-Anbiya (21) : 107, maka Islam secara otomatis mencakup segala aspek/bidang kehidupan, kapan pun dan di manapun. Tidak ada aspek kehidupan yang dilupakan dalam Islam. Firman Allah : "…Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab…" (Q.S Al-An’am (6) : 38).
Di sini akan dijelaskan secara singkat tentang universalitas aspek ajaran Islam :
Syumuliyah (universalitas) Aqidah Islam
1. Aqidah (Islamic theology) Islam bersifat universal karena mampu menjelaskan secara tuntas dan utuh terhadap seluruh masalah besar dalam persoalan kehidupan manusia, seperti masalah uluhiyah (ketuhanan), alam semesta, manusia, nubuwwah (kenabian) dan tempat kembali (akhirat).
2. Aqidah Islam bersifat universal karena tidak pernah membagi manusia di antara dua tuhan, yakni : Tuhan kebaikan dan cahaya, dengan Tuhan kejahatan dan kegelapan seperti dalam agama Majusi. Atau tidak membagi manusia diantara Allah dan setan yang dalam Injil dikenal dengan istilah "Pemimpin Alam" dan "Tuhan Kehidupan" dimana setan mempunyai kerajaan dunia sedang Allah mempunyai kerajaan langit. Dalam Islam, setan tidak mempunyai kuasa terhadap manusia kecuali kekuatan menggoda, merayu dan menyeru kepada kejahatan dan kesesatan. Pengakuan syaitan sebagaimana digambarkan Allah SWT dalam Al-Qur’an : "Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku." (Q.S Ibrahim (14) : 22). "Sesungguhnya syaitan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersatukannya dengan Allah." (Q.S An-Nahl (16) : 99-100).
3. Aqidah Islam bersifat universal karena ia tidak hanya disandarkan pada instink atau perasaan semata sebagaimana filsafat-filsafat ketimuran dan aliran-aliran thasawuf (Islamic mysticism) atau pada rasio akal (akal pikiran) semata sebagaimana filsafat-filsafat kemanusiaan yang menjadikan akal pikiran sebagai satu-satunya media untuk mengenal Allah atau media untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan, tetapi aqidah Islam disandarkan pada akal dan hati nurani secara bersamaan.
4. Aqidah Islam bersifat universal karena merupakan aqidah yang utuh, tidak mengenal pemilahan-pemilahan. Seseorang baru dikatakan seorang mu’min (orang yang beriman) bila ia mengimani Allah dan segala aspek yang datang dari-Nya. Allah SWT berfirman : "Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan : "Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) diantara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan." (Q.S An-Nisa’ (4) : 150-151). Dan : "…Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat…" (Q.S Al Baqarah (2) : 85).
Syumuliyah (universalitas) Syari’at Islam
Syari’at Islam mencakup tata aturan bagi individu, keluarga, sosial kemasyarakatan, negara dan hubungan internasional.
Ibadah Islam dalam arti luas mencakup seluruh aspek keberadaan manusia. Seorang muslim tidak beribadah kepada Allah hanya dengan lisannya saja, atau anggota badannya saja, atau hatinya saja tanpa mengikutsertakan akal dan inderanya. Tetapi ia beribadat dengan semuanya ini. Dengan hatinya ia berharap dan takut, dengan lisannya dia berdzikir dan berdoa, dengan badannya ia shalat, puasa dan berjihad, dengan akalnya ia berfikir dan merenung, dan dengan inderanya ia pergunakan sesuai dengan kehendak Allah.
Syumuliyah (universalitas) Akhlak Islam
Akhlak Islam (Islmic etnic) menjangau seluru aspek kehidupan manusia tanpa kecuali, baki itu yang bersifat rohani maupun jasmani, intelektual atau instink, individual atau sosial, dan lain-lain.
Cakupan pembahasan akhlak Islam bisa dilihat sebagai berikut :
Yang berkenan dengan individu dalam semua seginya, seperti : kebutuhan jasmani dan keterbatasannya (Q.S Al-A’raf (7) : 31), potensi akal untuk menalar kejadian sekitarnya (Q.S Yunus (10) : 101), jiwa yang mempunyai potensi suci dan kotor (Q.S Asy-Syams (91) : 9-10).
Akhlak Islam yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, seperti : hubungan antara suami-istri (Q.S An-Nisa’ (4) : 19), hubungan dan tanggung jawab antara orang tua (Q.S Al-Israa’ (17) : 31) dan anak (Q.S Al-Ahqaaf (46) : 15), hubungan antar kerabat (Q.S An-Nahl (16) : 90 dan Q.S Al-Israa’ (17) : 26).
Yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan, seperti : adab bertamu (Q.S An-Nur (24) : 27) dan menerima tamu (HR. Bukhari Muslim), etika melakukan transaksi jual-beli (Q.S Al-Muthaffi (83) : 1-3) atau utang-piutang (Q.S Al-Baqarah (2) : 282), politik dan pemerintahan (Q.S An-Nisa’ (4) : 58).
Yang berkaitan dengan akhlak terhadap makhluk Allah yang lain, seperti akhlak terhadap hewan (Q.S Al-An’am (6) : 38), tumbuhan dan lingkungan lainnya (Q.S Ar-Rum (30) : 40).

Wasthiyyah dan tawazun
Yang dimaksud dengan moderat atau seimbang di sini adalah keseimbangan antara dua hal yang saling berhadapan, dimana salah satu dari keduanya tidak bisa berpengaruh dengan sendirinya dengan mengabaikan yang lain. Contoh dua hal yang saling berhadapan adalah antara : ruhiyyah (spiritualisme) dengan maddiyah (materialisme), fardiyyah (individu) dengan jama’iyyah (kolektif), waqi’iyah (kontektual) dengan tathawwur (perubahan).
Penciptaan alam semesta beserta isinya adalah fenomena tawazun. Allah berfirman : " Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran" (Q.S Al Qomar (54) : 49). "dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya" (Q.S Al-Furqan (25) : 2). "Kamu tidak akan melihat pada ciptaan Allah yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?" (Q.S Al-mulk (67) : 3).
Al-Wasthiyyah dalam ajaran Islam. Dalam hal keyakinan Islam, adalah agama yang bukan dianut oleh kaum khufat (berlebih-lebihan dalam keyakinan dan ibadah sehingga mempercayai sesuatu tanpa dalil), dan bukan oleh kaum maddiyyin (yang mengingkari segala sesuatu yang tidak dapat terjangkau oleh indera), tetapi Islam mengajak berkeyakinan apabila keyakinan itu memiliki dalil yang pasti dan kuat (lihat Q.S Al-baqarah (2) : 111). Islam bukan dianut oleh kaum atheis (menafikkan Tuhan) dan bukan oleh kaum polytheis (meyakini banyak Tuhan), tetapi Islam mengajak beriman pada Tuhan Yang Satu (Esa), Yang Maha Agung, Tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak beranak dan tidak diperanakkan.
Dalam ibadat dan syari’at, Islam bukanlah agama yang hanya mementingkan sisi ibadat ritual dan menjauhi hal-hal yang bersifat kebutuhan manusiawi duniawi. Contoh yang sangat jelas terdapat dalam Q.S Al-Jumu’ah (62) : 9-10 : "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.".
Dalam sistem akhlak, Islam bukanlah agama yang menganggap manusia seperti malaikat, yang kemudian membuat aturan yang mustahil dapat dikerjakan oleh manusia, dan bukan pula menyamakan manusia dengan binatang yang kemudian membuat aturan tanpa aturan (bebas). Tetapi Islam memandang manusia sebagai makhluk yang berakal yang memiliki potensi kebinatangan (nafsu syahwat dan instink) dan potensi kemalaikatan (spiritualitas rohani). Allah berfirman :"..dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) ke-fasikan-an (kerusakan) dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang-orang mengotorinya." (Q.S Asy-Syams (91) : 7- 10).

Rabu, 15 Oktober 2008

AL QURAN DAN IPTEK

Al Quran dan IPTEK

Sebagian orang yang rendah pengetahuan ke-Islamannya beranggapan bahwa Al Quran adalah sekedar kumpulan cerita-cerita kuno yang tidak mempunyai manfaat yang signifikan terhadap kehidupan modern, apalagi jika dikorelasikan dengan IPTEK saat ini.

Al Quran menurut mereka cukuplah dibaca untuk sekedar mendapatkan pahala bacaannya, tidak untuk digali kandungan ilmu di dalamnya. Apalagi untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan dunia modern dan diterapkan dalam segala aspek kehidupan, hal itu adalah sesuatu yang nonsense.

Anggapan-anggapan di atas merupakanindikasi bahwa orang tersebut tidak mau berusaha untuk membuka Al Quran dan menganalisis kandungan ayat-ayatnya. Oleh karena itu, anggapan tersebut sangat keliru dan bertolak belakang dengan semangat Al Quran itu sendiri.


Bukti-bukti di bawah ini menunjukkan yang sebaliknya :
· Bahwa wahyu yang pertama diturunkan Allah SWT kepada Nabi-Nya Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca atau belajar (Q.S 96 : 1-5) dan menggunakan akal, bukan perintah untuk shalat, puasa atau zikrullah. Demikian tinggi hikmah turunnya ayat ini,menunjukkan perhatian Islam yang terhadap ilmu pengetahuan.
· Bahwa Allah SWT mengangkat manusia (Adam AS) sebagai khalifah-Nya di muka bumi dan bukan malaikat-Nya sebab adanya ilu pengetahuan (Q.S 2 : 31-33). Dengan kelebihan ilmu pengetahuan itu,Allah SWT memuliakan Adam AS sehingga memerintahkan para malaikat-Nya untuk bersujud kepada Adam AS.
· Manusia yang memiliki derajad paling tinggi di sisi Allah SWT adalah manusia yang memiliki iman dan Ilmu (Q.S 58 : 11). Mengapa? Karena iman membawa manusia kepada ketinggian di akhirat (fi akhirati khasanah), dan ilmu membawa manusia kepada ketinggian di dunia (fid dunya khasanah).
· Syarat manusia yang berhak diangkat menjadi pemimpin dalam Islam ada dua hal, yaitu : ilmu yang tinggi dan fisik yang sehat (Q.S 2 : 247). Ini menunjukkan betapa tinggi pehargaan Islam kepada nilai-nilai ilmu dan nilai-nilai kesehatan.
· Bahkan Allah SWT melarang manusia untuk melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan tanpa memiliki ilmunya (Q.S 17 : 36). Artinya, bahwa Islam sangat menghargai spesialisasi dalam berbagai bidang ilmu dan menganjurkan umatnya untuk menjadi seorang yang professional sesuai nengan bidang keilmuan masing-masing (menjadi expert dalam bidangnya).

Kemunduran Umat Islam
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa kaum Muslimin mempelajari dan melaksanakan ajaran agamanya dengan benar, maka mereka memimpin dunia dengan pakar-pakar yang menguasai dalam disiplin ilmunya masing-masing sehingga Barat pun dari mereka. Baru di masa kaum muslimin meninggalkan ajaran agamanya, tergiur dengan kenikmatan duniawi, dan berpaling ke Barat, Allah SWT merendahkan dan menghinakan mereka.


Sungguh Rasulullah SAW telah memperingatkan umatnya akan hal ini, sebagaimana dalam hadisnya :
“Kelak akan datang suatu masa dimana kalian akan menjadi seperti makanan di atas piring yang dihadapi oleh orang-orang yang kelaparan. Maka para sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kita sedikit saat itu, ya Rasulullah? Jawab Nabi SAW, “Bahkan jumlah kalian sangat banyak. Tetapi kalian terkena penyakit “wahn”! Tanya para sahabat, “Apa itu “wahn” ya Rasulullah?” jawab Nabi SAW, “kalian cinta dunia dan takut mati”.


Sistem Penurunan Ilmu
Adapun sistem penurunan dari Allah SWT kepada manusia secara ringkat dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :
Ilmu dari sisi Allah SWT

Jalur formal
Jalur non formal
Melalui wahyu (Q.S 3:38)
Kepada para Rasul (Q.S 42:53)
Ayat Qauliyah (Q.S 55:1-2, 96:1)
Fungsi sebagai pedoman hidup (Q.S 3:19, 85)

Kebenarannya mutlak
(Q.S 2 : 147, 41:53)
Melalui pikiran ( Q.S 90:53)
Langsung pada manusia (Q.S 42:53)
Ayat Kauniyah (Q.S 55:1-2, 96:1)
Fungsi sebagai sarana hidup
(Q.S 11:61)
Kebenarannya relatif dan akumulatif
(Q.S 2:147 , 41:53)
Keduanya untuk manusia agar beribadah kepada Allah SWT (Q.S 51:56)



Sumber-sumber Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Setelah kita mengetahui betapa tinggi perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan dan betapa Allah SWT mewajibkan kepada kaum muslimin untuk belajar dan terus belajar, maka Islam pun mengatur dan menggariskan kepada umatnya agar mereka menjadi umat yang terbaik (dalam ilmu pengetahuan dan dalam segala hal), agar mereka tidak salah dan tersesat, dengan memberikan bingkai sumber-sumber pengetahuan berdasarkan urutan kebenarannya sebagai berikut :

Al Quran dan As Sunah
Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya untuk menjadikan Al Quran dan As Sunah sebagai sumber pertama ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan keduanya langsung dari sisi Allah SWT dan dalam pengawasan-Nya, sehingga terjaga dari kesalahan, danterbebas dari segala vested interest apapun. Kewajiban mengambil ilmu dari keduanya disampaikan Allah AWT melalui berbagai perintah untuk memikirkan ayat-ayat-Nya (Q.S 12:1-3) dan menjadikan Nabi SAW sebagai pemimpin dalam segala hal (Q.S 33:21).
Alam semesta
Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk memikirkan alam semesta (Q.S 3:190-192), dan mengambil berbagai hokum serta manfaat darinya. Beberapa ayat-ayat yang telah dibuktikan oleh pengetahuan modern, seperti :
Ayat tentang asal mula alam semesta dari kabut atau nebula (Q.S 41:11)
Ayat tentang urutan penciptaan (Q.S 79:28-30): Kegelapan (nebula dari kumpulan H dan He yang bergerak pelan). Adanya sumber cahaya akubat medan magnetik yang menghasilkan panas radiasi termonuklir (bintang dan matahari) pembakaran atom H menjadi He lalu menjadi C lalu menjadi O baru terbentuknya benda padat dan logam seperti planet (bumi) panas turun menimbulkan kondensasi baru membentuk air mengakibatkan adanya kehidupan (tumbuhan).
Ayat bahwa bintang-bintang merupakan sumber panas yang tinggi (Q.S 86:3), matahari sebagai contih tingkat panasnya mencapai 6000 derajat Celsius.
Ayat tentang ekspansi kosmos (Q.S 51:47)
Ayat bahwa planet berada pada sistem tata surya terdekat (sama’a dunya) (Q.S 37:6).
Ayat yang membedakan antara planet sebagai pemantul cahaya (nur kaukab) dengan matahari sebagai sumber cahaya (siraj) (Q.S 71:16)
Ayat tentang gaya tarik antar planet (Q.S 27:88)
Ayat bahwa matahari dan bulan memiliki waktu orbit yang berbeda-beda (Q.S 55:5) dan garis edar sendiri-sendiri yang tetap (Q.S 36:40)
Ayat bahwa bumi ini bulat (kawwara-yukawwiru) dan melakukan rotasi (Q.S 39:5)
Ayat tentang tekanan udara rendah di angkasa (Q.S 6:125)
§ Ayat tentang akan sampainya manusia (astronaut) ke ruang angkasa (In bedakan dengan lau) dengan ilmu pengetahuan (sulthan) (Q.S 55:33)
Ayat tentang jenis-jenis awan, proses penciptaan hujan es dan salju(Q.S 24:43)
Ayat tentang awal kehidupan dari air (Q.S 21:30)
Ayat tentang angin sebagai mediasi dalam proses penyerbukan (pollen) tumbuhan (Q.S 15:22)
Ayat bahwa pada tumbuhan terdapat pasangan bunga jantan (etamine) dan bunga betina (ovules) yang menghasilkan perkawinan (Q.S 13:3)
Ayat tentang proses terjadinya Air Susu Ibu (ASI) (farst, lalu diserap oleh darah (dam), lalu ke kelenjar air susu (Q.S 16:66). Perlu dicatat bahwa system peredaran darah baru ditemukan oleh Harvey 10 abad setelah wafatnya Muhammad SAW.
Ayat tentang penciptaan manusia dari air mani yang merupakan campuran (Q.S 76:2). Mani merupakan campuran dari 4 tahapan testicules (membuat spermatozoid), vescules seminates (membuat cairan yang bersama mani), prostate (pemberi warna dan bau), cooper dan mary (pemberi cairan yang melekat dan lendir).
Ayat bahwa zyangote dikokohkan tempatnya dalam rahim (Q.S 22:5), dengan tumbuhnya villis yang seperti akar yang menempel pada rahim.
Ayat tentang proses penciptaan manusia melalui mani (nutfah) zygote yang melekat (‘alaqah) segumpal daging: embryo (mudghah) dibungkus oleh tulang dalam misenhyme (‘idhama) tulang dibalut otot dan daging (lahma) (Q.S 23:14)

Diri Manusia
Allah SWT memerintahkan agar manusia memperhatikan tentang proses penciptaan, baik secara fisiologisifiksik (Q.S 86:5) maupun psikologis: jiwa manusia tersebut (Q.S 91:7-10)
Sejarah
Allah SWT memerintahkan manusia agar melihat kebenaran wahyu-Nya melalui lembar-lembar sejarah (Q.S 12:111) jika manusia masih ragu akan kebenaran wahyu-Nya, dan masih ragu akan datangnya hari Pembalasan, maka perhatikanlah kaum Nuh, Hud, Shalih, Fir’aun, dan sebagainya, yang kesemuanya keberadaannya dibenarkan dalam sejarah hingga saat ini.

Pembagian Ilmu yang Wajib Dipelajari
Islam membagi ilmu yang wajib dipelajari ke dalam dua kelompok, yaitu :
· Fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim tanpa kecuali, diantaranya : akidah, ibadah, tazkiyyahnafs, akhlak dan lain-lain. Jika seorang muslim tidak mengetahui dan mempelajarinya, maka ia akan merugi. Kenapa? Hal ini dikarenakan ilmu ini harus dimiliki oleh setiap orang agar kehidupan pribadinya selamat di dunia dan akhirat, dan agar kehidupan bermasyarakat pun menjadi terjaga dan berjalan dangan baik.
· Fardhu Kifayah, yaitu ilmu yang hukum wajib-nya menjadi gugur jika sudah ada sebagian kelompok umat Islam yang telah mempelajarinya. Dalam hal ini adalah ilmu-ilmu yang bersifat keduniawian, missal : kedokteran, ilmu tanah, teknik bangunan, dan lain sebagainya.



Bukti-bukti bahwa Islam concern dengan IPTEK :
1. Bahwa wahyu yang pertama sekali diturunkankan oleh Allah SWT kepada Nabi-Nya Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca/belajar (QS 96/1-5) dan menggunakan akal, bukan perintah untuk shalat, puasa atau dzikrullah. Demikian tinggi hikmah turunnya ayat ini, menunjukkan perhatian Islam yang besar terhadap ilmu pengetahuan.
2. Bahwa Allah SWT mengangkat manusia (Adam as) sebagai khalifah-Nya dimuka bumi dan bukan para malaikat-Nya sebab adanya ilmu pengetahuan (QS 2/31-33). Yang dengan kelebihan ilmu pengetahuan itu juga, Allah SWT memuliakan Adam as, sehingga memerintahkan para malaikat-Nya untuk bersujud kepada Adam as.
3. Manusia yang memiliki derajat yang paling tinggi disisi ALLAH SWT, adalah manusia yang memiliki iman dan ilmu (QS 58/11). Karena iman membawa manusia kepada ketinggian di akhirat (fil akhirati hasanah), dan ilmu membawa manusia kepada ketinggian di dunia (fid dunya hasanah).
4. Syarat manusia yang berhak diangkat menjadi pemimpin dalam Islam ada 2 hal : ilmu yang tinggi dan fisik yang sehat (QS 2/247). Ini menunjukkan betapa tinggi penghargaan Islam kepada nilai-nilai ilmu dan nilai-nilai kesehatan.
5. Bahkan Allah SWT melarang manusia untuk melakukan suatu pekerjaan/ perbuatan tanpa memiliki ilmunya (QS 17/36). Artinya bahwa Islam sangat menghargai spesialisasi dalam berbagai bidang ilmu dan menganjurkan ummatnya untuk menjadi seorang yang profesional sesuai dengan bidang keilmuannya masing-masing (menjadi expert dalam bidangnya).
6. Sejarah menunjukkan bahwa pada masa kaum muslimin mempelajari dan melaksanakan ajaran agamanya dengan benar, maka mereka memimpin dunia dengan pakar-pakar yang menguasai dalam disiplin ilmunya masing-masing, sehingga Baratpun belajar dari mereka (lihat buku III). Baru dimasa kaum muslimin meninggalkan ajaran agamanya dan tergiur dengan kenikmatan duniawi dan berpaling ke Barat, maka Allah SWT merendahkan dan menghinakan mereka. Sungguh telah benar Rasulullah SAW yang telah memperingatkan ummatnya akan hal ini, sebagaimana dalam haditsnya : “Kelak akan datang suatu masa dimana kalian akan menjadi seperti makanan diatas piring yang dihadapi oleh orang-orang yang kelaparan. Maka para sahabat ra bertanya : Apakah karena jumlah kita sedikit saat itu ya Rasulullah ? Jawab Nabi SAW : Bahkan jumlah kalian sangat banyak. Tetapi kalian terkena penyakit “wahn”! Tanya para sahabat ra : Apa itu “wahn” ya Rasulullah ? Jawab Nabi SAW : Kalian cinta dunia dan takut mati.” (HR )

Posisi AIK dalam sistem penurunan ilmu :
· Merupakan salah satu cabang ilmu agama Islam yang berdasarkan Al Quran dan Al Hadist di bawah organisasi kemuhammadiyahan


Pentingnya (urgensi) mempelajari mata kuliah AIK :
· Sebagai wahana keilmuan dan akhlaqul karimah
· Agar mengerti dan memahami Islam secara kaffah atau integral atau menyeluruh (aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalah]
· Mengamalkan Islam secara benar sesuai tuntunan Rasulullah baik tujuan maupun materinya
· Mendapatkan atau mencari ridha dari Allah SWT