Rabu, 24 Desember 2008

IJTIHAD


  1. Apa dan Bagaimana Ijtihad itu?

  • Pengertian Ijtihad

Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:

..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)

artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)

Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.

Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan kata-kata:

Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’”

artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”

Demikian dengan kata Ijtihad yang berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.

Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.

Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”

Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.

Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.

2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,

3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).

Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.

Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.

  • Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

  • Fungsi Ijtihad

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

  • Jenis-jenis Ijtihad

  1. Ijma’

Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.

Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

  1. Qiyas

Beberapa definisi qiyâs' (analogi)

    1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.

    2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.

    3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).


  1. Istihsan

Beberapa definisi Istihsân

  1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.

  2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya

  3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.

  4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.

  5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya...

  1. Mushalat murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

  1. Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.

  1. Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

  1. Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.


  1. Bagaimanakah Muhammadiyah dalam Ijtihad ?

Dari semula, paham keagamaaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi ajaran ke sumber al-Qur’an dan Sunnah yang shahih dengan dimensi ‘Ijtihad’ dan ‘Tauhid’ dalam satu kesatuan yang utuh. Ibarat sebuah mata uang logam, paham keagamaan tersebut memiliki dua permukaan, yakni dua sisi permukaan yang dapat dibedakan antara keduanya, tetapi tidak dapat dipisahkan. Begitu pula hubungan antara adagium ‘kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah’ pada satu sisi dengan adagium lain yakni ‘ijtihad’dan ‘tajdid’. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Jika keduanya sampai terpisah atau sengaja dipisahkan maka paham keagaman tersebut tidak layak lagi digunakan sebagai predikat paham keagamaan Muhammadiyah. Menurut Amin Abdullah, dalam studi agama-agama, pemahaman dan pendekatan yang bersifat utuh komprehenshif tersebut disebut pendekatan yang bersifat scientific cum doctrinaire.

Tetapi sekali lagi, selama ini Muhammadiyah telah terjebak dalam kubangan puritanisme yang akut, sehingga adagium ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah hanya semata-mata terkait dengan persoalan ibadah mahdlah, untuk tidak mengatakan hanya terfokus pada persoalan-persoalan fiqih. Tidak mencoba untuk dikembangkan dalam arti yang lebih luas dan fundamental yakni back to the principle of Qur’anic ethical values. Dan ‘ijtihad’ di Muhammadiyah hanya terkait dengan isu-isu hukum agama atau hukum-hukum fiqih an sich dan tidak melebar pada al-ulum al-kauniyyah dan al-hayat al-insaniyyah.

Kecenderungan konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang cenderung memperluas demografi dan keanggotaan. Aktivisme tersebut mengakibatkan para aktivis Muhammadiyah terlalu bersifat politis-idiologis dan apologis ketimbang berfikir secara reflektif-kontemplatif dan folosofis. Kedua, peran Majlis Tarjih sebagai thik-thank Muhammadiyah terlalu bersifat fiqh-oriented dan tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks perkembangan jaman dan perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran keislaman yang asumtif-probabilistik-pluralis. Ketiga, di tingkat aplikasi praktis, muncul truth claim dari pensakralan produk-produk Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terhadap masalah-masalah muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir empirik di kalangan para anggota Majlis Tarjih.

Dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah, terdapat istilah manhaj tarjih untuk menyebut metode istinbath hukum. Secara leksikal, manhaj berarti “jalan” atau “metode.” Dalam ilmu usul fiqih, manhaj digunakan sebagai cara mengeluarkan hukum syara’ dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, secara istidlal dengan dalil ‘aql, seperti qiyas, istihsan, istishab, dan sebagainya (Abu Zahrah, Usul Fiqh, h. 115). Majelis Tarjih menggunakan kata manhaj sebagai acuan penggalian hukum Islam, baik dari dalil naql maupun ‘aqli. Muhammadiyah merumuskan pedoman dalam berijtihad dengan memakai nama “Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah”.

Manhaj ijtihad tersebut merupakan manifestasi bahwa Muhammadiyah tidak bermadzhab. Dalam hal ini, dibuktikan dari putusan-putusannya tidak merujuk kepada pendapat imam madzhab. Sebab, masalah-masalah yang diputuskan Majelis Tarjih didasarkan atas nash yang dianggap lebih kuat tanpa mengembalikan apakah pendapatnya sesuai dengan pendapat imam madzhab atau tidak.

Sungguhpun manhaj tarjih belum dapat dikatakan sebagai susunan ushul fiqih baru, namun telah memuat unsur-unsur penting dalam teori berijtihad, yaitu penggunaan sumber-sumber hukum, prinsip-prinsip ijtihad, dan kedudukan akal dalam penggalian hukum. Ternyata, manhaj yang demikian telah membawa Majelis Tarjih memutuskan berbagai masalah yang tampak mandiri dan tidak terikat oleh salah satu pandangan madzhab.

Mengenai penggunaan sumber dalil, pada dasarnya ijtihad Majelis Tarjih secara mutlak adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, kedua dalil tersebut merupakan acuan utama dalam penetapan hukum. Hal ini terbaca pada hampir setiap keputusan tarjih yang senantiasa menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dalil sebagaimana yang terbaca di dalam Himpunan Putusan Tarjih. Yang demikian memperlihatkan visi Muhammadiyah yang selama ini dikenal sebagai gerakan pemurnian dengan semboyan “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.”


Himpunan Putusan Tarjih yang merupakan hasil ijtihad Muhammadiyah dapat diringkas isinya sebagai berikut:

    1. Putusan tentang masalah akidah termuat dalam kitab iman dan masalah mempercayai kenabian setelah Nabi Muhammad saw.

    2. Putusan tentang masalah fiqih, termuat dalam kitab; Thaharah, Kitab Salat, Kitab Zakat, Kitab Siyam, Kitab Haji, Kitab Janazah, Kitab Waqaf, Kitab Masalah Lima yaitu: Pengertian Agama, Dunia, Ibadah, Sabilillah, dan Pengertian Qiyas.

    3. Masalah yang berkaitan dengan bidang akhlak, tasawuf, dan lain-lain kurang banyak dijelaskan. Kecuali masalah ziarah kubur yang memuat adab ziarah, kesunahan membuka alas kaki di atas kuburan, serta peringatannya kepada wanita agar tidak terlalu banyak berziarah kubur.

Dari beberapa isi yang dikemukakan di atas, di dalam penjelasannya tidak disebutkan qaidah usuliyah-nya untuk memutuskan suatu masalah. Atau, tidak dijelaskan jalan istinbath (cara penetapan hukum). Ketidakjelasan kedudukan suatu ayat atau Hadits dalam kaitannya dengan suatu keputusan akan memusykilkan status hukum yang dihasilkan. Apakah ayat ini merupakan tuntunan tetap ataukah tidak tetap, apakah ayat itu menunjukkan umum atau khusus dan seterusnya, sehingga menghasilkan hukum wajib, sunnah, atau mubah, dan sebagainya.

Meskipun secara teoritik Majelis Tarjih tidak mengkualifikasikan status hukum masing-masing keputusan, namun ada hal lain yang lebih esensial yang telah dicapai dalam putusan Majelis, yaitu unsur ittiba’ kepada Nabi saw, satu hal yang menjadi ruh atau jiwa bagi segala praktek ibadah.

Putusan tersebut di atas menggambarkan hasil dari putusan pada dekade awal berdirinya Majelis ini. Pada perkembangan selanjutnya, terutama hasil muktamar Tarjih XXII di Malang, hasil keputusan telah memuat beberapa kaidah ushul fiqih sebagai dasar istinbath.

Inilah konteks zaman yang senantiasa berubah, dan Muhammadiyah mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Praktek ijtihad yang dilakukan oleh Majelis Tarjih selama ini dengan melalui tiga cara:

    1. Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafadz yang dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak, ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan konteksnya mempunyai arti mutasyabih ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arud). Dalam hal terakhir digunakan ijtihad tar­jih.

    2. Ijtihad Qiyasi, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nash-nya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash karena adanya kesamaan illat.

    3. Ijtihad Istislahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nash sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan illat untuk kemaslahatan. (Manhaj Tarjih: 17).

Jadi, Muhammadiyah dalam berijtihad menggunakan istinbat hukum seperti yang tertuang di dalam Manhaj Tarjih. Dengan demikian, metode ijtihad Muhammadiyah adalah menggunakan Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Meskipun manhaj tarjih itu merupakan rumusan dari beberapa pendapat ulama ushul dan ini belum dikatakan Muhammadiyah telah menemukan rumusan ushul fiqih baru, akan tetapi manhaj telah berhasil digunakan oleh Majelis Tarjih dalam menetapkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi.


  1. Ijtihad berarti pembaharuan, Bagaimana Ijtihad Muhammadiyah dalam konteks pembaharuan ini ?

Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaruan Islam. Bagaimana hubungan Muhammadiyah dengan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam? Masalah ini perlu dikaji untuk mengetahui benang merah sejarah pembaruan Islam, sekaligus keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berwatak tajdid di Indonesia.

Sebagai gerakan tajdid (pembaruan), Muhammadiyah mengembangkan semangat ijtihad, serta menjauhi sikap taklid. Istilah tajdid pada dasarnya bermakna pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan sebagainya. Tajdid mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah adalah dalam usaha memperbarui pemahaman umat Islam tentang agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar al-Qur’an dan al-Sunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996).

Mengingat kemassifan penetrasi budaya global yang multifaset dan rendahnya kualitas umat, pencerahan hati, pikiran, dan tindakan dalam ber-Islam sangat penting untuk digelorakan. Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah dituntut untuk selalu mampu membuat semua langkah yang ditempuhnya tetap segar, kreatif, inovatif, dan responsif mengikuti perkembangan zaman. Muhammadiyah diharapkan dapat selalu berdiri di hadapan sejarah, dalam arti selalu berada di tengah-tengah perkembangan masyarakat. Dengan cara demikian, Muhammadiyah mampu melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam secara dinamis dan kontekstual.

Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak akan pernah ketinggalan zaman, jika umat Islam selalu berusaha menangkap dan meresponi pesan-pesan kedua sumber Islam itu, kemudian mengontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat secara antisipatif. Oleh karena itu, Muhammadiyah harus terus-menerus melakukan pembaruan. Harus selalu ada reorientasi, reevaluasi, revisi dan regenerasi terhadap apa yang sudah dan sedang dikerjakan. Muhammadiyah tidak boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian dan prestasinya selama ini, terutama di bidang pendidikan dan amal sosial, karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi dan dekadensi (M. Amien Rais, 1995).

Ketika bicara tentang tajdid masa kini, Amien Rais mengajukan lima paket tajdîd atau pembaruan yang saling berkaitan dan harus senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd tersebut adalah: tanzhîf al-aqîdah (purifikasi akidah), tajdîd al-nizhâm (pembaruan sistem, organisasi), taktsîr al-kawâdir (kaderisasi, memperbanyak kader), tajdîd etos Muhammadiyah, dan tajdîd kepemimpinan. Mengingat fenomena jahiliyah modern yang terus bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan yang bernuansa klenik dan tahayul, dekadensi moral, pornografi dan pornoaksi, premanisme, terorisme, trafficking (perdagangan manusia), dan sebagainya. Kelima spektrum tajdîd di atas sangat relevan dengan tuntutan masa kini. Semua persoalan tersebut hanya dapat dihadapi dan diatasi dengan menggelorakan kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen dan organisasi Muhammadiyah dengan melakukan kaderisasi dan intelektualisasi dalam skala yang lebih besar dan merata ke seluruh penjuru tanah air.

Wilayah ijtihad dan tajdid Muhammadiyah sejak awal sebenarnya selalu terfokus pada persoalan historisitas kemanusiaan yang sekaligus juga menyentuh persoalan kebangsaan dan keumatan. Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan dan pelayanan kesehatan merupakan persoalan keumatan yang kongkret dan otentik. Sikap dan aksi nyata seperti itulah yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah pada awal berdirinya dan terus berlangsung hingga kini. Karena etos amal kemanusiaan dan keagamaan ini perlu mendapat ruang dan respon yang lebih luas dari warga Muhammadiyah dan lainnya.

Sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam khususnya di Indonesia, baik yang bercorak purifikatif (pemurnian akidah-ibadah) maupun rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah telah menyumbangkan sesuatu yang paling mendasar, yakni sikap kritisnya terhadap status quo pemikiran keislaman saat kelahirannya maupun dalam perjalanan kehidupan bangsa. Selain itu, keunikan corak pembaruan yang dibawa Muhammadiyah adalah terletak pada sisi amaliahnya yang menekankan kesalehan sosial, seperti pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, masjid serta sarana dakwah lainnya.


IJTIHAD

  1. Apa dan Bagaimana Ijtihad itu?

  • Pengertian Ijtihad

Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:

..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)

artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)

Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.

Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan kata-kata:

Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’”

artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”

Demikian dengan kata Ijtihad yang berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.

Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.

Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”

Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.

Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.

2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,

3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).

Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.

Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.

  • Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

  • Fungsi Ijtihad

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

  • Jenis-jenis Ijtihad

  1. Ijma’

Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.

Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

  1. Qiyas

Beberapa definisi qiyâs' (analogi)

    1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.

    2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.

    3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

  1. Istihsan

Beberapa definisi Istihsân

  1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.

  2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya

  3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.

  4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.

  5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya...

  1. Mushalat murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

  1. Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.

  1. Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

  1. Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

  1. Bagaimanakah Muhammadiyah dalam Ijtihad ?

Dari semula, paham keagamaaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi ajaran ke sumber al-Qur’an dan Sunnah yang shahih dengan dimensi ‘Ijtihad’ dan ‘Tauhid’ dalam satu kesatuan yang utuh. Ibarat sebuah mata uang logam, paham keagamaan tersebut memiliki dua permukaan, yakni dua sisi permukaan yang dapat dibedakan antara keduanya, tetapi tidak dapat dipisahkan. Begitu pula hubungan antara adagium ‘kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah’ pada satu sisi dengan adagium lain yakni ‘ijtihad’dan ‘tajdid’. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Jika keduanya sampai terpisah atau sengaja dipisahkan maka paham keagaman tersebut tidak layak lagi digunakan sebagai predikat paham keagamaan Muhammadiyah. Menurut Amin Abdullah, dalam studi agama-agama, pemahaman dan pendekatan yang bersifat utuh komprehenshif tersebut disebut pendekatan yang bersifat scientific cum doctrinaire.

Tetapi sekali lagi, selama ini Muhammadiyah telah terjebak dalam kubangan puritanisme yang akut, sehingga adagium ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah hanya semata-mata terkait dengan persoalan ibadah mahdlah, untuk tidak mengatakan hanya terfokus pada persoalan-persoalan fiqih. Tidak mencoba untuk dikembangkan dalam arti yang lebih luas dan fundamental yakni back to the principle of Qur’anic ethical values. Dan ‘ijtihad’ di Muhammadiyah hanya terkait dengan isu-isu hukum agama atau hukum-hukum fiqih an sich dan tidak melebar pada al-ulum al-kauniyyah dan al-hayat al-insaniyyah.

Kecenderungan konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang cenderung memperluas demografi dan keanggotaan. Aktivisme tersebut mengakibatkan para aktivis Muhammadiyah terlalu bersifat politis-idiologis dan apologis ketimbang berfikir secara reflektif-kontemplatif dan folosofis. Kedua, peran Majlis Tarjih sebagai thik-thank Muhammadiyah terlalu bersifat fiqh-oriented dan tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks perkembangan jaman dan perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran keislaman yang asumtif-probabilistik-pluralis. Ketiga, di tingkat aplikasi praktis, muncul truth claim dari pensakralan produk-produk Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terhadap masalah-masalah muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir empirik di kalangan para anggota Majlis Tarjih.

Dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah, terdapat istilah manhaj tarjih untuk menyebut metode istinbath hukum. Secara leksikal, manhaj berarti “jalan” atau “metode.” Dalam ilmu usul fiqih, manhaj digunakan sebagai cara mengeluarkan hukum syara’ dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, secara istidlal dengan dalil ‘aql, seperti qiyas, istihsan, istishab, dan sebagainya (Abu Zahrah, Usul Fiqh, h. 115). Majelis Tarjih menggunakan kata manhaj sebagai acuan penggalian hukum Islam, baik dari dalil naql maupun ‘aqli. Muhammadiyah merumuskan pedoman dalam berijtihad dengan memakai nama “Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah”.

Manhaj ijtihad tersebut merupakan manifestasi bahwa Muhammadiyah tidak bermadzhab. Dalam hal ini, dibuktikan dari putusan-putusannya tidak merujuk kepada pendapat imam madzhab. Sebab, masalah-masalah yang diputuskan Majelis Tarjih didasarkan atas nash yang dianggap lebih kuat tanpa mengembalikan apakah pendapatnya sesuai dengan pendapat imam madzhab atau tidak.

Sungguhpun manhaj tarjih belum dapat dikatakan sebagai susunan ushul fiqih baru, namun telah memuat unsur-unsur penting dalam teori berijtihad, yaitu penggunaan sumber-sumber hukum, prinsip-prinsip ijtihad, dan kedudukan akal dalam penggalian hukum. Ternyata, manhaj yang demikian telah membawa Majelis Tarjih memutuskan berbagai masalah yang tampak mandiri dan tidak terikat oleh salah satu pandangan madzhab.

Mengenai penggunaan sumber dalil, pada dasarnya ijtihad Majelis Tarjih secara mutlak adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, kedua dalil tersebut merupakan acuan utama dalam penetapan hukum. Hal ini terbaca pada hampir setiap keputusan tarjih yang senantiasa menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dalil sebagaimana yang terbaca di dalam Himpunan Putusan Tarjih. Yang demikian memperlihatkan visi Muhammadiyah yang selama ini dikenal sebagai gerakan pemurnian dengan semboyan “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.”

Himpunan Putusan Tarjih yang merupakan hasil ijtihad Muhammadiyah dapat diringkas isinya sebagai berikut:

    1. Putusan tentang masalah akidah termuat dalam kitab iman dan masalah mempercayai kenabian setelah Nabi Muhammad saw.

    2. Putusan tentang masalah fiqih, termuat dalam kitab; Thaharah, Kitab Salat, Kitab Zakat, Kitab Siyam, Kitab Haji, Kitab Janazah, Kitab Waqaf, Kitab Masalah Lima yaitu: Pengertian Agama, Dunia, Ibadah, Sabilillah, dan Pengertian Qiyas.

    3. Masalah yang berkaitan dengan bidang akhlak, tasawuf, dan lain-lain kurang banyak dijelaskan. Kecuali masalah ziarah kubur yang memuat adab ziarah, kesunahan membuka alas kaki di atas kuburan, serta peringatannya kepada wanita agar tidak terlalu banyak berziarah kubur.

Dari beberapa isi yang dikemukakan di atas, di dalam penjelasannya tidak disebutkan qaidah usuliyah-nya untuk memutuskan suatu masalah. Atau, tidak dijelaskan jalan istinbath (cara penetapan hukum). Ketidakjelasan kedudukan suatu ayat atau Hadits dalam kaitannya dengan suatu keputusan akan memusykilkan status hukum yang dihasilkan. Apakah ayat ini merupakan tuntunan tetap ataukah tidak tetap, apakah ayat itu menunjukkan umum atau khusus dan seterusnya, sehingga menghasilkan hukum wajib, sunnah, atau mubah, dan sebagainya.

Meskipun secara teoritik Majelis Tarjih tidak mengkualifikasikan status hukum masing-masing keputusan, namun ada hal lain yang lebih esensial yang telah dicapai dalam putusan Majelis, yaitu unsur ittiba’ kepada Nabi saw, satu hal yang menjadi ruh atau jiwa bagi segala praktek ibadah.

Putusan tersebut di atas menggambarkan hasil dari putusan pada dekade awal berdirinya Majelis ini. Pada perkembangan selanjutnya, terutama hasil muktamar Tarjih XXII di Malang, hasil keputusan telah memuat beberapa kaidah ushul fiqih sebagai dasar istinbath.

Inilah konteks zaman yang senantiasa berubah, dan Muhammadiyah mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Praktek ijtihad yang dilakukan oleh Majelis Tarjih selama ini dengan melalui tiga cara:

    1. Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafadz yang dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak, ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan konteksnya mempunyai arti mutasyabih ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arud). Dalam hal terakhir digunakan ijtihad tar­jih.

    2. Ijtihad Qiyasi, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nash-nya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash karena adanya kesamaan illat.

    3. Ijtihad Istislahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nash sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan illat untuk kemaslahatan. (Manhaj Tarjih: 17).

Jadi, Muhammadiyah dalam berijtihad menggunakan istinbat hukum seperti yang tertuang di dalam Manhaj Tarjih. Dengan demikian, metode ijtihad Muhammadiyah adalah menggunakan Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Meskipun manhaj tarjih itu merupakan rumusan dari beberapa pendapat ulama ushul dan ini belum dikatakan Muhammadiyah telah menemukan rumusan ushul fiqih baru, akan tetapi manhaj telah berhasil digunakan oleh Majelis Tarjih dalam menetapkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

  1. Ijtihad berarti pembaharuan, Bagaimana Ijtihad Muhammadiyah dalam konteks pembaharuan ini ?

Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaruan Islam. Bagaimana hubungan Muhammadiyah dengan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam? Masalah ini perlu dikaji untuk mengetahui benang merah sejarah pembaruan Islam, sekaligus keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berwatak tajdid di Indonesia.

Sebagai gerakan tajdid (pembaruan), Muhammadiyah mengembangkan semangat ijtihad, serta menjauhi sikap taklid. Istilah tajdid pada dasarnya bermakna pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan sebagainya. Tajdid mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah adalah dalam usaha memperbarui pemahaman umat Islam tentang agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar al-Qur’an dan al-Sunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996).

Mengingat kemassifan penetrasi budaya global yang multifaset dan rendahnya kualitas umat, pencerahan hati, pikiran, dan tindakan dalam ber-Islam sangat penting untuk digelorakan. Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah dituntut untuk selalu mampu membuat semua langkah yang ditempuhnya tetap segar, kreatif, inovatif, dan responsif mengikuti perkembangan zaman. Muhammadiyah diharapkan dapat selalu berdiri di hadapan sejarah, dalam arti selalu berada di tengah-tengah perkembangan masyarakat. Dengan cara demikian, Muhammadiyah mampu melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam secara dinamis dan kontekstual.

Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak akan pernah ketinggalan zaman, jika umat Islam selalu berusaha menangkap dan meresponi pesan-pesan kedua sumber Islam itu, kemudian mengontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat secara antisipatif. Oleh karena itu, Muhammadiyah harus terus-menerus melakukan pembaruan. Harus selalu ada reorientasi, reevaluasi, revisi dan regenerasi terhadap apa yang sudah dan sedang dikerjakan. Muhammadiyah tidak boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian dan prestasinya selama ini, terutama di bidang pendidikan dan amal sosial, karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi dan dekadensi (M. Amien Rais, 1995).

Ketika bicara tentang tajdid masa kini, Amien Rais mengajukan lima paket tajdîd atau pembaruan yang saling berkaitan dan harus senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd tersebut adalah: tanzhîf al-aqîdah (purifikasi akidah), tajdîd al-nizhâm (pembaruan sistem, organisasi), taktsîr al-kawâdir (kaderisasi, memperbanyak kader), tajdîd etos Muhammadiyah, dan tajdîd kepemimpinan. Mengingat fenomena jahiliyah modern yang terus bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan yang bernuansa klenik dan tahayul, dekadensi moral, pornografi dan pornoaksi, premanisme, terorisme, trafficking (perdagangan manusia), dan sebagainya. Kelima spektrum tajdîd di atas sangat relevan dengan tuntutan masa kini. Semua persoalan tersebut hanya dapat dihadapi dan diatasi dengan menggelorakan kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen dan organisasi Muhammadiyah dengan melakukan kaderisasi dan intelektualisasi dalam skala yang lebih besar dan merata ke seluruh penjuru tanah air.

Wilayah ijtihad dan tajdid Muhammadiyah sejak awal sebenarnya selalu terfokus pada persoalan historisitas kemanusiaan yang sekaligus juga menyentuh persoalan kebangsaan dan keumatan. Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan dan pelayanan kesehatan merupakan persoalan keumatan yang kongkret dan otentik. Sikap dan aksi nyata seperti itulah yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah pada awal berdirinya dan terus berlangsung hingga kini. Karena etos amal kemanusiaan dan keagamaan ini perlu mendapat ruang dan respon yang lebih luas dari warga Muhammadiyah dan lainnya.

Sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam khususnya di Indonesia, baik yang bercorak purifikatif (pemurnian akidah-ibadah) maupun rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah telah menyumbangkan sesuatu yang paling mendasar, yakni sikap kritisnya terhadap status quo pemikiran keislaman saat kelahirannya maupun dalam perjalanan kehidupan bangsa. Selain itu, keunikan corak pembaruan yang dibawa Muhammadiyah adalah terletak pada sisi amaliahnya yang menekankan kesalehan sosial, seperti pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, masjid serta sarana dakwah lainnya.


Kamis, 18 Desember 2008

Pimpinan Ranting Muhammadiyah
(PRM)


1. Sejarah PRM (Pimpinan Ranting Muhammadiyah) di desa Kledung Kradenan kecamatan Banyuurip, kabupaten Purworejo

Embrio PRM (Pimpinan Ranting Muhammadiyah) desa Kledung Kradenan, Banyuurip, Purworejo sudah ada sejak adanya PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) di Kabupaten Purworejo. Adapun secara resminya PRM desa Kledung Kradenan ini berdiri bersamaan dengan berdirinya PCM (Pimpinan Cabang Muhammadiyah) Banyuurip yaitu pada awal tahun 2002.
Kemudian sampai dengan tahun 2008 di Kecamatan Banyuuurip yang terdiri dari 27 desa, berdiri 5 buah ranting, yang merupakan PRM Kledung Kradenan, Kledung Karang Dalem, Wangunrejo, Banyuurip, dan Boro Kulon. Di daerah tersebut, para simpatisan atau pendukung dakwah Muhammadiyah kebanyakan dari masyarakat pendatang, sedangkan orang-orang pribumi masih sangat sedikit, karena masyarakat pribumi masih mengedepankan tradisi-tradisi lokal atau adat, yang mana tindakan-tindakan tersebut masih sangat kental kaitannya dengan pengaruh Hinduisme (Animisme dan Dinamisme) padahal hal-hal itu menjadi titik krusial yang akan ditegakkan Muhammadiyah, yang erat kaitannya dengan TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churofat). Contoh : di daerah Kledung Kradenan tersebut telah berjalan tradisi “wayangan” setiap bulan rajab yang di masuki dengan niat-niat kemusyrikan. Masyarakat beranggapan jika tradisi tersebut tidak dijalankan, maka akan terjadi malapetaka atau suatu hal yang tidak diharapkan masyarakat seperti halnya musibah dll.

2. Struktur Organisasi PRM di desa Kledung Kradenan
Struktur organisasi yang telah terbentuk di dalam PRM setempat masih sangat sederhana, yakni masih terdiri dari pengurus harian, seperti :
§ Ketua PRM : Bpk. Ahmat Jaenudin
§ Sekretaris : Bpk. Bambang
§ Bendahara : Bpk. Tumirin
Sementara bidang-bidang lazim di Muhammadiyah seperti PKU Muhammadiyah, tabligh itu belum ada, karena selama ini para pengurus masih dalam upaya memperkuat PRM. Selain menjabat sebagai ketua PRM, bapak Jaenudin juga sekaligus menjabat sebagai ketua PCM di daerah Kledung Kradenan sehingga lebih memfokuskan bagaimana cara menggerakkan PCM.

3. Kekuatan dan Kelemahan dakwah Muhammadiyah
Adapun kekuatan dakwah Muhammadiyah di desa Kledung Kradenan antara lain :
a. Ditinjau dari segi personalia
Niat dari para pendakwah yang ikhlas dan semata-mata hanya mencari ridha Allah SWT.
Strata ekonomi para personalia alhamdulillah termasuk golongan menengah ke atas dan juga bermata pencaharian yang mempunyai status sosial seperti misalnya pegawai negeri, guru, pengusaha dan sebagainya. Paling tidak dengan nilai itu mereka dapat menfokuskan tujuan diri untuk dakwah yang benar-benar ikhlas lillahi ta’ala bukan untuk profesi ekonomi.
Personalia para pendakwah Muhammadiyah termasuk orang-orang yang berpendidikan tinggi sehingga korelasional dan emotional mereka lebih matang dalam kaitannya dengan tingkat adaptasi dakwah mereka.
b. Ditinjau dari segi finansial
Dengan personalia yang bergolongan ekonomi menengah ke atas tersebut dapat menjadikan simpatisan mengikhlaskan dirinya dalam berdakwah. Selain itu, mereka juga ikhlas menafkahkan sebagian harta mereka di jalan Allah SWT. Contoh konkretnya yaitu telah dibangun Panti Asuhan dan juga playgroup Aisiyah di daerah Banyuurip dan TK Aisiyah di daerah Wangunrejo. Oleh karena itu, masalah atau kendala finansial dapat atasi bersama-sama meskipun belum begitu optimal.
Adapun kelemahan dakwah Muhammadiyah di PRM daerah setempat adalah lingkungan mereka yang relatif belum kondusif (dengan adanya tokoh-tokoh non Muhammadiyah yang melakukan pergerakan tidak sekedar bersama-sama fastabiqul khoirot, tetapi juga menganggap bahwa Muhammadiyah sebagai saingan. Dengan asumsi bahwa mereka tidak ingin kehilangan pengaruh serta tidak ingin kehilangan peluang ekonomi. Secara singkat golongan non-Muhammadiyah tidak mendukung misi dakwah Muhammadiyah, bahkan mereka menganggap sebagai saingannya.

4. Keberlanjutan dakwah Muhammadiyah di PRM Kledung Kradenan
PRM Kledung Kradenan sedang merintis sub-sub ranting. Adapun dakwah Muhammadiyah yang selama ini telah berjalan, antara lain : diadakannya pengajian setiap malam jumat kliwon dan pengajian setiap minggu pagi di masjid Khusnul Khotimah dan di Mushola pengadilan negeri Purworejo setiap bulan Ramadhan.
Di lain tempat juga sedang dirintis beberapa simpatisan atau anggota Muhammadiyah yang terdiri dari :
§ Lingkungan I : desa Plahan (Ngaglag)
§ Lingkungan II : desa kledung Kradenan
§ Lingkungan III : Belakang pengadilan negeri
§ Lingkungan IV : Juru Tengah
§ Lingkungan V : daerah perbatasan Sucen