Rabu, 17 Juni 2009

LEMBAGA=LEMBAGA KEMASYARAKATAN

BAB V
ASPEK POLITIK
Persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut
sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan malahan persoalan
politik.
Sewaktu Nabi mulai menyiarkan agama Islam di Mekkah beliau
belum dapat membentuk suatu masyarakat yang kuat lagi berdiri
sendiri. Umat Islam diwaktu itu baru dalam kedudukan lemah, tidak
sanggup menentang kekuasaan yang dipegang kaum pedagang Quraisy
yang ada di Mekkah. Akhirnya Nabi bersama Sahabat dan umat Islam
lainnya, seperti diketahui, terpaksa meninggalkan kota ini dan pindah
ke Yasrib, yang kemudian terkenal dengan nama Medinah, yaitu Kota
Nabi.
Di kota ini keadaan Nabi dan Umat Islam mengalami perobahan
yang besar. Kalau di Mekkah mereka sebelumnya merupak umat lemah
yang tertindas, di Medinah mereka mempunyai kedudukan yang baik
dan segera merupakan umat yang kuat d dapat berdiri sendiri
Jadi sesudah beliau wafat, beliau mesti diganti oleh orang lain
untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Dalam kedudukan
beliau sebagai Rasul, beliau tentu tak dapat diganti. Sebagaimana
diketahui dari sejarah pengganti beliau yang pertama ialah Abu Bakr.
Abu Bakr menjadi Kepala Negara yang ada pada waktu itu dengan
memakai gelar Khalifah, yang arti lafzinya ialah Pengganti (Inggeris :
Successor). Kemudian setelah Abu Bakr wafat, Umar Ibn Al-Khattab
menggantikan beliau sebagai Khalifah yang kedua. Usman Ibn Affan
selanjutnya menjadi Khalifah yang ketiga dan pada
pemerintahannyalah mulai timbul persoalan-persoalan politik.
Setelah Usman wafat, Ali Ibn Abi Talib, sebagai calon terkuat,
menjadi Khalifah yang ke-empat. Tetapi segera ia mendapat tantangan
dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah, terutama
Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah.
Dalam peperangan yang terjadi Talhah dan Zubeir mati terbunuh,
sedang Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Mu'awiah, gubernur Damaskus dan
anggauta keluarga yang terdekat dengan Usman Ibn Affan: Mu'awiah
juga tidak mengakui Ali sebagai Khalifah bahkan ia menuduh Ali turut
campur tangan dalam soal pembunuhan Usman, karena salah satu dari
pemuka pemberontak, Muhammad, adalal anak angkat Ali. Antara
kedua golongan akhirnya terjadi peperangan di Siffin, Irak.
Keadaan Ali menerima tipu muslihat Amr mengadakan arbitrase
sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian dari
tentaranya. Tentara ini mengasingkan diri dan ke luar dari barisan Ali.
Mereka terkanal dalam sejarah dengan nama Khawarij, itu orang-orang
yang keluar. Mereka mengatur barisan mereka dan selanjutnya
menentang Ali. Antara Ali dan mereka terjadi peperangan. Dalam
peperangan itu kaum Khawarij kalah, tetapi tentara Ali telah terlalu
lemah untuk dapat meneruskan peperangan melawan Mu'awiah.
Mu'awiah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah ifatnya Ali ia dengan
mudah dapat memperkuat kedudukannya bagai Khalifah di tahun 4661
M.
Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah bukan atas tunjukan Nabi
Muhammad, karena beliau wafat dengan tidak meninggalkan perintah
ataupun pesan tentang pengganti beliau sebagai Kepala negara. Abu
Bakar diangkat atas dasar permufakatan pemuka-pemuka Ansar dan
Muhajirin dalam rapat Saqifah di Medinah. Pengangkatan itu kemudian
mendapat persetujuan dan pengakuan mat, yang dalam istilah Arabnya
disebut bay'ah ( ).
Umar menjadi Khalifah kedua atas pencalonan Abu Bakar yang
segera juga mendapat persetujuan umat. Penentuan Usman sebagai
pengganti Umar dirundingkan dalam rapat Enam Sahabat. Usman juga
segera mendapat bay'ah dari umat. Setelah Usman mati terbunuh, Alilah
merupakan calon terkuat untuk menjadi Khalifah keempat. Tetapi
bay’ah yang diterima Ali tidak lagi sebulat bay'ah yang diberikan umat
kepada khalifah-khalifah sebelumnya. Khalifah Ali, sebagai dilihat di
atas, mendapat tantangan dari Mu'awiah di Damaskus dan dari Talhah,
Zubeir dan Aisyah di Mekkah.
Dalam pada itu perlu ditegaskan bahwa menurut pendapat umum
yang ada dizaman itu, seorang Khalifah haruslah berasal dari suku
Quraisy. Pendapat ini didasarkan atas hadis yang membuat Quraisy
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari suku-suku Arab lainnya dan
terutama hadis : Imam-imam adalah dari Quraisy ( ).
Keempat Khalifah Besar memang orangorang ternama dari suku
Quraisy dan demikian juga dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani
Abbas, semuanya berasal dari suku Nabi Muha.mmad itu. Pendapat ini
kemudian menjadi teori ketatanegaraan yang dianut oleh Ahli Sunnah.
Sementara itu, seorang pemuka Khawarij bernama Najdah Ibn
Amr Al-Hanafi mempunyai faham bahwa Kepala Negara diperlukan
hanya jika maslahat umat menghendaki yang demikian. pada
hakekatnya, demikian Najdah, ummat tidak berhajat pada adanya
Khalifah atau Imam untuk memimpin mereka. Dalam hal ini, ia
sebenarnya dekat dengan faham komunis yang mengatakan bahwa
negara akan hilang dengan sendirinya dalam masyarakat komunis.
Kaum Khawarij dalam sejarah pecah menjadi beberapa kelompok,
tetapi perbedaan faham mereka berkisar sekitar masalahmasalah
teologi. Hal ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam pembahasan
aspek teologi
Sesuai dengan faham yang dibawa oleh Mu'awiah, imamah dalam
teori Syi'ah mempunyai bentuk kerajaan dan turun-temurun dari bapak
ke anak, seterusnya ke cucu dan demikian selanjutnya. Semestinya
yang menggantikan Nabi Muhammad sebagai Kepala Negara dalam
faham Syi'ah, adalah anak beliau. Tetapi karena beliau tak mempunyai
anak laki-laki yang hidup, jabatan itu seharusnya pergi ke anggota
keluarga beliau yang terdekat.
Ali Ibn Abi Talib, adalah anak paman beliau dan yang terpenting
lagi adalah pula menantu beliau. Oleh karena itu, Ali-lah anggota
keluarga Nabi yang terdekat. Dengan demikian, yang menggantikan
Nabi Muhammad sebagai Kepala Negara seharusnyalah Ali, dan
seterusnya anak-anak serta cucu-cucunya dan bukan Abu Bakar, Umar,
Usman, Bani Umayyah dan Bani Abbas. Oleh sebab itu khilafah Abu
Bakar, Umar dan Usman tidak diakui oleh kebanyakan kaum Syi'ah dan
demikian juga pemerintahan Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani
Abbas.
Dalam pada itu, kaum Syi'ah juga pecah ke dalam beberapa
golongan. Yang terbesar ialah golongan Syi'ah Dua belas ( ).
Mereka disebut Syi'ah Duabelas karena mereka mempunyai duabelas
Imam Nyata ( ). Imam Pertama sudah barang tentu Ali
Ibn Abi Talib sedang Imam Keduabelas adalah Muhammad Al-
Muntazar.














Pada Muhammad Al-Muntazar berhenti rangkaian Imam-imam
Nyata, karena Muhammad tidak meninggalkan keturunan. Muhammad,
sewaktu masih kecil, hilang di dalam gua yang terdapat di Mesjid
Samarra (Iraq). Menurut keyakinan kaum Syi'ah Duabelas. Imam ini
menghilang baut sementara dan akan kembali lagi sebagai Al-Mahdi
untuk langsung memimpin umat. Oleh karena itu ia disebut Imam
Bersembunyi ( ) atau Imam Dinanti,
( ). Selama bersembunyi ia memimpin umat melalui
Raja-raja yang memegang kekuasaan dan ulama-ulama mujtahid Syi'ah.
Syi'ah Duabelas menjadi faham resmi di Iran semenjak permulaan
abad ke-enambelas, yaitu setelah faham itu dibawa ke sana oleh Syi'ah
Ismail.
Di samping Syi'ah Duabelas ada pula Syi'ah Ismailiah. Imamimam
mereka sampai dengan Imam Keenam masih sama dengan -
Imam-imam Syi'ah Duabelas. Perbedaan mulai timbul pada Imam
Ketujuh.
Khalifah-khalifah Fatimi di Mesir, golongan Qaramitah,
Hassyasyin, kaum Ismaili di India, Pakistan dan Iran, dan kaum Duruz
di Lebanon dan Syiria termasuk dalam golongan Syi'ah Ismailia.
Selanjutnya ada lagi Syi'ah Zaidiah, yaitu pengikut Zaid Ibn Ali
Zain Al-Abidin. Berlainan dengan Syi'ah Duabelas dan Syi’ah
Ismailiah mereka tidak menganut teori Imam Bersembunyi. Imam
harus langsung memimpin umat. Jabatan Imam harus berasal dari
keturunan Ali dan Fatimah. Demikian faham mereka.
Syi'ah Zaidiah dalam sejarah membentuk kerajaan di Yaman
dengan San'a sebagai ibu kota. Beberapa tahun yang lalu bentuk
kerajaan ini dirobah menjadi republik, setelah terjadinya revolusi di
negara itu
Siapa yang berhak menjadi Kepala Negara sebagai pengganti
beliau dan bagaimana cara pengangkatannya, itulah yang menimbulkan
perbedaan faham di bidang politik dalam Islam. Sebagaimana dilihat
kaum Khawarij berpendapat bahwa yang berhak untuk menjadi Kepala
Negara ialah semua orang Islam dan cara penentuan dan mengangkatan
ialah pemilihan. Syi'ah, sebaliknya, berpendapat bahwa hanya
keturunan Ali yang berhak menjadi Kepala Negara dan hak itu bersifat
turun-temurun. Ahli Sunnah berpendapat bahwa hak itu dimiliki oleh
suku Quraisy dan pengangkatannya ialah melalui pemilihan. Tetapi di
samping itu ada pula yang menyetujui penentuan melalui keturunan.
Imam mempunyai sifat kekudusan yang diwarisi dari Nabi, dalam
arti Ali menerima waris itu dari Nabi, Hasan dan Husein dari Ali, Ali
Zainal Abidin dari Husein dan demikianlah seterusnya oleh cucu-cucu
beliau. Di samping itu Imam mempunyai kekuasaan untuk membuat
hukum. Perbuatan-perbuatan serta ucapan-ucapan Imam tidak bisa
bertentangan dengan syariat. Dengan demikian bagi kaum Syi'ah, Imam
hampir sama sifat dan kekuasaannya dengan sifat dan kekuasaan Nabi.
Imam dan Nabi sama-sama tak dapat berbuat salah dan sama-sama
dapat membuat hukum. Perbedaan terletak dalam keadaan Nabi
menerima wahyu sedang Imam tidak.
Sifat-sifat tersebut adalah sifat bagi Imam terbaik ( ),
Tetapi dalam pada itu pemuka yang tidak mencapai sifat terbaik boleh
juga menjadi Imam. Kalau yang pertama disebut Imam afdal yang
kedua disebut Imam mafdul ( ). Oleh karena itu Syi'ah
Zaidiah dapat mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman.
Mereka diakui sebagai Imam-Imam mafdul dan bukan Imam-imam
afdal.
Ahli Sunnah tidak menerima faham-faham tersebut di atas. Bagi
mereka Ali dan keturunannya adalah manusia biasa, sama dengan ABu
Bakar, Umar, Usman dan lain-lain. Oleh karena itu Jabatan Kepala
Negara dalam teori mereka tidak dikhususkan untuk Ali dan
keturunannya dan kalaupun dikhususkan hanya untuk suku Quraisy.
Sementara itu Ahli Sunnah membahas soal khalifah dari aspekaspek
lain. Pembahasan serupa itu dijumpai dalam buku-buku ilmu
kalam atau buku-buku yang khusus membahas soal ketatagaraan dalam
Islam, seperti, Al-Ahkam Al-Sultaniah, karangan Al-Mawardi.
Al-Ghazali, berlainan dengan kaum Khawarij, berpendapat,
bahwa Khalifah tidak dapat dijatuhkan, walaupun Khalifah yang zalim.
Menggulingkan Khalifah yang zalim tapi kuat, akan membawa
kekacauan dan pembunuhan dalam masyarakat. Al-Ghazali
mementingkan ketertiban dalam masyarakat. Khalifah dapat
menyerahkan kekuasaan untuk memerintah kepada Sultan yang
berkuasa. Dalam sejarah Dinasti Bani Abbas memang terdapat Sultansultan yang berkuasa di samping Khalifah-khalifah yang lemah.
Sebagai dilihat di atas, tidak jarang bahwa Khalifah hanya merupakan
boneka dalam tangan Sultan.
Ibn Jama'a sama dengan Al-Ghazali, lebih mengutamakan
ketertiban dalam masyarakat daripada pemerintahan yang zalim. Patuh
kepada kekuasaan adalah kewajiban yang diharuskan agama. Penentuan
pengganti oleh seorang Khalifah, dalam pendapat Ibn Jama'a,
merupakan salah satu bentuk pemilihan.

BAB VI
LEMBAGA-LEMBAGA KEMASYARAKATAN
Islam dalam sejarah, seperti telah dilihat mengambil bentuk
negara. Sebagai Negara Islam sudah barang tentu harus mempunyai
lembaga-lembaga kemasyarakataan seperti pemerintahan; hukum,
pengadilan; polisi; pertahanan dan pendidikan.
Masyarakat Islam pada mulanya tersusun atas orang-orang Arab
saja, tetapi dengan tersiarnya Islam ke luar Arabia, orang-orang bukan
Arab masuk Islam dengan menggabungkan diri dengan salah satu suku
bangsa Arab, disebut Mawali. Kaum Mawali dalam prakteknya
mempunyai kedudukan lebih rendah dari orang Arab. Orang-orang
Arab, sebagai bangsa yang berkuasa di waktu itu, dianggap oleh
masyarakat lebih tinggi. Karena mempunyai kedudukan lebih tinggi,
agama dan kebudayaan Arab Islam dipandang lebih tinggi pula. Tidak
mengherankan kalau bangsa-bangsa yang berada di bawah kekuasaan
Islam di waktu itu banyak berusaha untuk meniru orang Arab dalambahasa, pakaian dan adat istiadat. Bahkan banyak pula yang
meninggalkan agama aslinya dan masuk Islam.
Sebagai telah dilihat dalam Bab V, negara Islam dikepalai oleh
seorang Khalifah, baik dalam bentuk Kepala Negara yang dipilih
maupun dalam bentuk Raja yang jabatannya mempunyai sifat turuntemurun.
Dalam menjalankan tugas pemerintahan, Khalifah dibantu
oleh seorang wazir yang menjadi pembantu utama, penasehat dan
tangan kanannya. Di bawah wazir terdapat beberapa diwan
(departemen) umpamanya Diwan Al-Kharaj ( ), Departemen
Pajak Tanah, Bait Al-Mal / Departemen Keuangan, Diwan
Al-Jaisy ( ) (Departemen Pertahanan) dan lain
sebagainya. Tiap Diwan dipimpin oleh seorang kepala. Rapat para
Kepala Diwan diketuai oleh Wazir. Dengan demikian Wazir pada
hakikatnya mempunyai kedudukan Perdana Menteri.
Di ketika menurunnya prestise dan kekuasaan Khalifah di zaman
Bani Abbas, pembesar yang berkuasa di pemerintahan pusat bukan lagi
Wazir atau Hajib, tetapi Amir Al-Umara' (Kepala Panglima) atau
Sultan. Sebagai telah disebut, Khalifah Al-Mu'tasim mendirikan
Tentara Pengawal yang terdiri dari orang-orang Turki. Pada akhirnya
Tentara Pengawal ini begitu berkuasa di Bagdad sehingga mereka dapat
menjatuhkan dan mengangkat Khalifah sekehendak mereka. Di zaman
Khalifah AI-Muqtadir (908 - 932 M) Panglima Tentara Pengawal itu
diberi gelar baru, 'Amir Al-Umara', dan Amir AlUmara' inilah
sebenarnya yang memegang kekuasaan di pusat pemerintahan.
Tentara tersusun dari harbiah (infantri), ramiah (pemanah) dan
fursan (kavaleri), Senjata yang dipakai ialah pedang beserta perisai,
tombak, panah, ali-ali (catapults), mangonel (pelempar batu), dabbabah
(alat serangan terhadap kota yang dibentengi tembok) dan kemudian
juga senjata api. Untuk menjaga diri dari panah api, para pelempar
memakai pakaian tahan api.
Dalam rombongan tentara terdapat pula insinyur, dokter, qadi
atau hakim untuk mengurus soal pembagian harta perang, penunjuk
jalan (raid) untuk mengurus soal perkemahan, penterjemah dan juru
tulis.
Pendidikan dalam sejarah Islam pada mulanya diberikan di
mesjid, tetapi kemudian di sekolah-sekolah yang disebut kuttab atau
madrasah. Ini merupakan sekolah dasar di mana anak-anak diberi
pelajaran membaca serta menghafal Al-Qur-an, riwayat hidup Nabi
Muhammad, nahwu, sharaf, berhitung dan menulis. Kalau sekolah
serupa ini adalah untuk orang umum, Khalifah dan orang-orang kaya
menggaji guru untuk memberi pelajaran pada anak mereka di istana
atau di rumah.
Pendidikan tinggi dibentuk juga di lembaga-lembaga lain seperti
Bait Al-Hikmah yang didirikan Khalifah Al-Makmun di tahun 830 M
di Bagdad dan Dar Al-Hikmah yang dibangun oleh Khalifah Fatimiah
Al-Hakim di Cairo di tahun 1005 M. Di Dar Al-Hikmah diajarkan
aliran Syi'ah. Di Coruova Abd Al-Ra.hman III mendirikan Universitas
Cordova yang dikunjungi mahasiswa Islam dan Kristen, bukan Kristen
dari Spanyol saja tetapi juga dari daerah-daerah lain di Eropa. Untuk
menampung Universitas itu Mesjid Besar Cordova diperbesar. Di tahun
972 M Mesjid Al-Azhar didirikan oleh Panglima Fatimi Jawhar Al-
Saqilli di Cairo yang beberapa tahun kemudian dijadikan Universitasoleh Khalifah Al-Aziz (975 - 996 M). Sebagai diketahui sampai
sekarang Al-Azhar masih ada dan altan merayakan ulang tahunnya
yang keseribu dalam waktu dekat.
Hukum yang dipakai dalam mengatur masyarakat di zaman
Kerajaan-kerajaan Islam di masa lampau bukan hanya hukum fikih,
tetapi juga hukum sebagai diputuskan oleh Khalifah atau Sultan.
Hukum ini kemudian diberi nama iradah saniyah. Adapula hukum
yang dibuat oleh rapat Menteri dengan persetujuan Khalifah atau Sultan
dan ini disebut qanun..
Qanun mengurus soala-soal administrasi negara dan soal-soal
yang mempunyai corak politik seperti pemberontakan, soal pemalsuan
uang, pelanggaran hukum, dan sebagainya. Hukum dalam bentuk
putusan Khalifah mengurus pertikaian-pertikaian yang biasa timbul
setiap hari.
Qanun berkembang di zaman Kerajaan Usmani, terutama di
bawah Sulayman I, sehingga ia terkenal dengan nama Sulayman Al-
Qanuni.
Di samping jabatan jabatan tersebut di atas masih ada lagi satu
jabatan yang diberi nama mufti. Ahli-ahli hukum Islam selalu mendapat
pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dari masyarakat. Jawaban yang
diberikan ahli hukum itu disebut fatwa dan yang memberi jawaban itusendiri disebut mufti. Ada mufti yang diangkat Khalifah atau Sultan dan
dengan demikian timbullah jabatan mufti yang resmi dalam negara.
Fatwa yang diberikan mufti inilah yang menjadi pegangan negara.
Dalam sistem pemerintahan Kerajaan Usmani mufti resmi itu diberi
gelar Syaikh Al-Islam. Kalau Syaikh Al-Islam mewakili Khalifah atau
Sultan dalam melaksanakan wewenang agamawinya, Sadr Al-A'zam.
Perdana Menteri, mewakili Kepala Negara dalam melaksanakan
wewenang duniawinya.
Untuk urusan kesehatan telah disebut di atas bahwa wakaf
dipergunakan dalam mendirikan dan membiayai pemeliharaan rumahrumah
sakit. Dari semenjak semula dalam sejarah Islam rumah rumah
sakit telah didirikan oleh berbagai Khalifah. Khalifah AlWalid (705 -
715 M) memberi perintah kepada gubernur-gubernurnya untuk
mendirikan rumah-rumah sakit di daerahnya. Bagdad di bawah Harun
Al-Rasyid (786 - 809 M) telah mempunyai rumah sakit dan demikian
pula Cairo, yang didirikan oleh Ibn Tulun pada tahun 872 M. Nama
yang dipakai untuk rumah sakit waktu itu ialah kata Persia bimaristan.
Rumah-rumah sakit mempunyai bahagian pria dan wanita.
Di antara rumah-rumah sakit itu ada yang mempunyai
perpustakaan sendiri dan ada pula yang memberikan kursus ilmu
kedokteran. Di rumah-rumah sakit Bagdad, dokter-dokter kepala dan
ahli-ahli bedah memberi kuliah kepada mahasiswa untuk kemudian
diuji dan diberi ijazah. Pelajaran diberikan bukan hanya dalam bentuk
teori saja tetapi juga dalam bentuk praktikum.
Di samping rumah-rumah sakit terdapat pula klinik-klinik yang
berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk memberi pengobatan
kepada masyarakat.
Rumah-rumah sakit yang banyak terdapat di dunia Islam
mempunyai pengaruhnya, melalui Perang Salib, terhadap pembentukan
rumah-rumah sakit di Eropa. Ilmu kedokteran yang ada di dunia Islam
pada waktu itu lebih tinggi dari ilmu pengobatan yang dilakukan di
Eropa.